Hal ini didorong oleh keyakinan konsumen bahwa untuk anak di usia periode emas, 1 hingga 5 tahun (golden age), harga susu yang tinggi tidak menjadi persoalan.
Hasil ini berbeda dengan teori lain sebelumnya, yang menyebutkan bahwa konsumen kelas sosial ekonomi menengah ke bawah umumnya cenderung memilih produk dengan harga yang lebih terjangkau (segmen affordable).
Kedua, fenomena jumlah konsumsi GUM lebih dari 2 gelas per hari justru lebih banyak ditemui di perdesaan (69 persen) ketimbang di perkotaan (31 persen).
Rupanya kesadaran dan literasi gizi konsumen perkotaan untuk makanan pendamping ASI lebih baik sehingga kebutuhan gizi anak usia 1 hingga 3 tahun tidak menyandarkan semata-mata kepada susu pertumbuhan, tetapi juga kepada sumber gizi lain yang lebih beragam.
Konsumsi GUM akan terus menjadi anomali dan masalah apabila status literasi gizi masyarakat masih rendah sehingga menyebabkan pola dan jumlah konsumsi GUM yang berlebihan.
Apalagi jika hal tersebut dilakukan dengan meninggalkan ASI sama sekali tanpa alasan yang dibenarkan secara medis.
Sejatinya Pedoman Gizi Seimbang (PGS) dari Kemenkes RI tidak lagi menempatkan susu sebagai penyempurna menu diet.
Komposisi makanan haruslah beragam termasuk makanan sumber protein (protein foods) yang bisa dipenuhi dari makanan hasil laut, daging, unggas, telur dan kacang-kacangan, biji-bijian dan kedelai, sehingga tidak melulu harus dipenuhi dari susu saja.
Ternyata pengetahuan dan kesadaran semacam inilah yang masih mahal di negeri ini hingga hari ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.