Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sunardi Siswodiharjo
Food Engineer dan Praktisi Kebugaran

Food engineer; R&D manager–multinational food corporation (2009 – 2019); Pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan.

Mendeteksi Anomali Konsumen Susu Pertumbuhan

Kompas.com - 30/06/2024, 09:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ARTIKEL ini merupakan salah satu upaya diseminasi sebagian hasil riset dari disertasi penulis di Program Doktor Manajemen Agribisnis UGM.

Tujuannya untuk memberikan edukasi kepada publik, sehingga hasil penelitian dapat lebih luas diakses oleh masyarakat.

Tulisan ini juga berkaitan dengan artikel sebelumnya “Susu Formula, Dimusuhi tetapi Terus Dibeli”(Kompas.com, 10/09/2022), yang masih relevan hingga hari ini.

Tema risetnya memang amat spesifik, yaitu “Perilaku Perpindahan Merek (Brand Switching) Produk Susu Pertumbuhan (Growing-Up Milk/GUM) Pada Konsumen Kelas Sosial Menengah dan Bawah di Pulau Jawa” (Sunardi et al., 2023).

Meskipun tidak termasuk dalam hasil riset, salah satu anomali yang paling mencolok adalah bahwa semakin ketat peraturan untuk membatasi konsumsi GUM, data empiris justru menunjukkan hal sebaliknya, jumlah konsumsi dan konsumen produk susu pertumbuhan terus meningkat secara signifikan.

Namun demikian, penelitian tersebut juga menemukan beberapa abnormalitas konsumen GUM menarik lainnya.

Market size susu formula

Susu formula merupakan jenis produk susu, baik dalam bentuk bubuk maupun cair, yang dirancang dengan formula khusus untuk memberikan nutrisi tambahan yang dibutuhkan oleh bayi (usia 0 hingga 12 bulan) maupun balita (usia 1 hingga 5 tahun) yang belum bisa atau pun tidak bisa lagi mengonsumsi ASI (Air Susu Ibu) dengan alasan ibu sakit atau sebab lain yang dibenarkan secara medis.

Susu formula biasanya mengandung campuran nutrisi yang mirip dengan ASI, termasuk protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita.

Susu formula untuk anak usia 1 hingga 3 tahun, sering disebut GUM (Growing-Up Milk), umumnya didesain untuk memberikan nutrisi tambahan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tulang, otak, dan sistem kekebalan tubuhnya.

Misalnya, penambahan kalsium dan vitamin D yang penting bagi pertumbuhan tulang. Terkadang ditambahkan DHA atau Docosahexaenoic Acid, yang merupakan jenis asam lemak omega-3, untuk membantu perkembangan otak.

Ada juga penambahan prebiotik, probiotik, atau gabungan keduanya (simbiotik) untuk memperbaiki imunitas tubuh melalui perbaikan fungsi kesehatan percernaan.

Bisnis susu formula memang sangat “gurih dan legit”. Tak heran jika perusahaan-perusahaan multinasional kelas dunia sangat rajin berinvestasi serta serius terjun di bisnis ini. Nilai total sales revenue-nya juga sangat fantastis.

Laporan WHO (2017) bertajuk “Guidance nn Ending The Inappropriate Promotion of Foods for Infants and Young Children: Implementation Manual”, memperkirakan nilai pasar susu pengganti ASI secara global mencapai sebesar 70,6 miliar dollar AS pada 2019.

Angka tersebut merupakan hasil analisis data oleh Euromonitor International Consulting dari 16 negara berpendapatan tinggi dan menengah, atas permintaan WHO.

Pada umumnya, pertumbuhan rata-rata konsumsi GUM paling tinggi terjadi di negara-negara Asia Pasifik dan Amerika Selatan dan bukan di Eropa atau Amerika Utara.

Sementara itu, apabila merujuk pada data yang lebih baru, diketahui bahwa ukuran pasar susu formula bayi global bernilai 73,83 miliar dollar AS atau senilai Rp 1.126,28 triliun (kurs Rp 15.255 per dolar AS) pada tahun 2023.

Nilai ini diperkirakan akan terus tumbuh dari 81,72 miliar dollar AS pada 2024 menjadi 178,83 miliar dollar AS pada 2032, atau tumbuh rata-rata sebesar 10,28 persen per tahun selama periode perkiraan (Fortune Business Insights, 2024).

Di Indonesia, diperkirakan sepertiga dari total nilai bisnis susu sebesar 11,63 miliar dollar AS atau senilai Rp 177 triliun (kurs Rp 15.255 per dolar AS) adalah produk susu pertumbuhan atau GUM (Statista, 2024).

Riset oleh Sunardi et al. (2023), membuktikan bahwa meskipun terjadi tingkat perpindahan merek yang cukup tinggi (57 persen), namun dinamika loyalitas pelanggan yang tercermin dari dinamika market share produk GUM antara tahun 2011 dan tahun 2021 cukup stabil atau tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan.

Secara empiris data penelitian menyebutkan pangsa pasar GUM di Indonesia didominasi oleh empat perusahaan besar saja, yaitu Nestlé, Danone, Frisian Flag, Kalbe-Morinaga.

Mereka menguasai hampir 90 persen pangsa pasar. Artinya perpindahan merek sebagian besar terjadi hanya di antara keempat merek tersebut.

Research Novelty dan temuan anomali

Riset yang dilakukan Mei hingga Oktober 2021 ini melibatkan 1.493 responden yang semuanya anggota Posyandu di empat kabupaten/kota di Pulau Jawa.

Penelitian menemukan sebanyak 1.029 responden atau hampir 80 persen dari total responden yang memiliki anak usia 1 hingga 3 tahun memberikan produk GUM kepada anak-anak mereka dengan beragam penyebab yang berbeda-beda.

Salah satu novelty atau kebaruan dari riset ini adalah mengukur tingkat perpindahan merek melalui pengukuran tingkat loyalitas pelanggan.

Pengukuran menggunakan pendekatan perspektif behavioral (stokastik) berbasis proporsi pembelian serta market share concept dan hard core criterion terhadap dua kelas sosial ekonomi, yaitu kelas menengah dan bawah, yang merupakan segmen mayoritas konsumen susu pertumbuhan di Indonesia.

Kebaruan yang lainnya adalah penggunaan dua alat analisis sekaligus berupa Partial Least Square – Structural Equation Modeling (PLS-SEM) dan Multi Group Analysis (MGA).

Selain itu, riset menggunakan definisi kelas sosial ekonomi menengah dan bawah yang didasarkan pada kriteria yang dikeluarkan oleh Boston Consulting Group (BCG) untuk Indonesia yang juga dijadikan rujukan oleh Bank Dunia (World Bank).

Setidaknya ditemukan dua anomali hasil penelitian di atas. Pertama, fakta ditemukannya fenomena price inelastic consumers.

Artinya sebagian besar responden, yang merupakan masyarakat konsumen GUM dari kelas menengah dan bawah, tidak sensitif terhadap harga.

Hal ini dibuktikan dengan 63 persen responden terpilih (memenuhi kriteria inklusif riset, yaitu konsumen yang pernah melakukan ganti merek susu setidaknya sekali), ternyata membeli produk GUM berkategori segmen mainstream, premium atau bahkan super premium.

Hal ini didorong oleh keyakinan konsumen bahwa untuk anak di usia periode emas, 1 hingga 5 tahun (golden age), harga susu yang tinggi tidak menjadi persoalan.

Hasil ini berbeda dengan teori lain sebelumnya, yang menyebutkan bahwa konsumen kelas sosial ekonomi menengah ke bawah umumnya cenderung memilih produk dengan harga yang lebih terjangkau (segmen affordable).

Kedua, fenomena jumlah konsumsi GUM lebih dari 2 gelas per hari justru lebih banyak ditemui di perdesaan (69 persen) ketimbang di perkotaan (31 persen).

Rupanya kesadaran dan literasi gizi konsumen perkotaan untuk makanan pendamping ASI lebih baik sehingga kebutuhan gizi anak usia 1 hingga 3 tahun tidak menyandarkan semata-mata kepada susu pertumbuhan, tetapi juga kepada sumber gizi lain yang lebih beragam.

Konsumsi GUM akan terus menjadi anomali dan masalah apabila status literasi gizi masyarakat masih rendah sehingga menyebabkan pola dan jumlah konsumsi GUM yang berlebihan.

Apalagi jika hal tersebut dilakukan dengan meninggalkan ASI sama sekali tanpa alasan yang dibenarkan secara medis.

Sejatinya Pedoman Gizi Seimbang (PGS) dari Kemenkes RI tidak lagi menempatkan susu sebagai penyempurna menu diet.

Komposisi makanan haruslah beragam termasuk makanan sumber protein (protein foods) yang bisa dipenuhi dari makanan hasil laut, daging, unggas, telur dan kacang-kacangan, biji-bijian dan kedelai, sehingga tidak melulu harus dipenuhi dari susu saja.

Ternyata pengetahuan dan kesadaran semacam inilah yang masih mahal di negeri ini hingga hari ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com