DATA BPS menunjukkan, sebanyak 26,27 persen penduduk Indonesia mempunyai keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir pada 2023. Angka tersebut turun 6,09 persen dalam lima tahun terakhir.
Terdapat lima propinsi dengan tingkat persentase keluhan tertinggi pada rentang angka di atas 30 persen, yaitu Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Tengah.
Keluhan kesehatan merupakan gangguan terhadap kondisi fisik, jiwa, termasuk karena kecelakaan, atau hal lain yang menyebabkan terganggunya kegiatan sehari-hari.
Keluhan utama yang banyak dialami penduduk Indonesia adalah panas, sakit kepala, batuk, pilek, diare, asma, sesak nafas, dan sakit gigi. Penderita penyakit kronis selamanya dianggap mempunyai keluhan, walaupun penyakitnya tidak kambuh karena perawatan dan pengobatan.
Dari seluruh penduduk dengan keluhan sakit, sekitar 25,16 persen melakukan pengobatan rawat jalan di fasyankes. Angka rawat jalan ini menurun 15,32 persen dibandingkan data tahun 2019.
Berdasarkan jenis fasilitas layanan pengobatan, fasyankes klinik dan praktik dokter paling banyak dikunjungi penduduk Indonesia yang sakit. Selanjutnya Puskesmas peringkat ketiga, dan terakhir baru pasien ke rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta.
Tidak sampai 6 persen penduduk yang mempunyai keluhan datang ke rumah sakit terdekat. Namun, mengapa pemandangan kunjungan pasien rumah sakit yang membeludak selalu terlihat sehari-hari?
Apakah temuan data statistik morbiditas dapat meleset dari kenyataan? Atau memang kita masih kekurangan fasyankes rujukan rumah sakit?
Dapat dilihat di ruang tunggu rawat jalan rumah sakit tiap hari penuh dengan pasien yang mengantre dan menunggu panggilan pelayanan.
Bahkan terjadi di berbagai rumah sakit pemerintah (RSUP, RSUD), keluarga pasien mengantre pendaftaran sejak dini hari untuk mendapat nomor pelayanan. Sistem online sesungguhnya memudahkan, walaupun tidak semua bisa mengakses.
Persentase terbesar pasien di rumah sakit adalah lansia, walaupun ada juga pasien di usia masa produktif, muda, maupun anak-anak.
Keluhan penyakit kronis, komplikatif, degeneratif, keganasan, dan kecelakaan mendominasi. Gampang ditebak banyak penderita berusia dewasa dan di atas 60 tahun yang berkunjung.
Akibat membeludaknya pasien rumah sakit, maka keluhan lamanya menunggu dan lambat pelayanan kerapkali terdengar.
Hal ini dapat memengaruhi mutu layanan dan menurunkan kenyamanan rumah sakit dalam pelayanan. Pelayanan yang terjadi sebentar saja, sekitar 15 – 20 menit dalam ruang/poli pelayanan rawat jalan.
Fenomena membeludaknya pasien tak dapat dihindari karena faktor (salah satu faktor) kehadiran tenaga medis yang tidak selalu tersedia sesuai jadwal yang ditetapkan.
Keluarga dan pasien seringkali menunggu lama. Ketika dokter spesialis hadir, para pasien terlihat tersenyum, meski terasa kecut karena waktu tunggu yang cukup menyita waktu.
Pasien di ruang tunggu seperti tidak bergerak dan terus bertambah. Tentu kondisi rumah sakit yang mengakibatkan pasien menumpuk, wajah-wajah pasien tatapan kosong, dan seperti menunggu sesuatu tak terhindarkan.
Pemandangan layanan rawat jalan rumah sakit demikian jamak yang entah kapan kita dapat mengatasinya.
Pelayanan rawat jalan memang dipadati pasien dan keluarga mulai dari tempat pendaftaran/ verifikasi, ruang pelayanan, ruang farmasi, laboratorium, dll, yang seringkali ruang tunggu menjadi satu bercampur.
Keterbatasan tempat membuat pasien kelihatan penuh dan seringkali tidak tersedia petugas yang turun mengatur.
Bagaimana dengan rawat inap di rumah sakit? WHO menyatakan rumah sakit yang sehat dan efektif memberikan pelayanan maka BOR (Bed Occupancy Rate) tidak boleh di atas 60 persen kapasitas. Sedangkan Kemenkes menetapkan indikator BOR ideal berkisar 60-85 persen.
Statistik menunjukkan tidak banyak penduduk yang menjalani rawat inap di rumah sakit dalam setahun terakhir (2023). Persentase tertinggi di Provinsi Gorontalo dengan 5,12 persen dan terendah di Provinsi Papua sebesar 1,37 persen. Rata-rata nasional rawat inap mencapai 3,29 persen.
Kondisi BOR rumah sakit secara nasional masih aman karena di bawah standar yang ditentukan WHO sebesar 5 persen.
Rumah sakit mengalami BOR tertinggi pada saat pandemi Covid 19. Saat itu, BOR ruang isolasi dan ruang ICU hingga di atas 90 persen, bahkan beberapa rumah sakit di atas 100 persen.
Pandemi telah membuat rumah sakit jadi tempat yang menghantui bagi keluarga dan masyarakat.
Dari sini kita mendapatkan kenyataan bahwa pemandangan membeludaknya pasien datang ke rumah sakit di Indonesia saat ini merupakan kunjungan pasien rawat jalan.
Mereka membutuhkan pelayanan rujukan dan tenaga medis spesialistik karena masalah kesehatan yang diderita tidak dapat ditangani di fasyankes tingkat pertama (puskesmas, klinik).
Motivasi pasien dan keluarga datang ke rumah sakit tergantung pada pandangan dan persepsi setiap individu.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa motivasi fungsional yang tertinggi, yaitu alasan pasien ke rumah sakit karena kinerja kualitas layanannya. Selanjutnya motivasi estetika emosional, yaitu untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan layanan kesehatan.
Kemudian juga motivasi situasional di mana pasien lebih mementingkan kualitas daripada ketersediaan atau kuantitas.
Adapula motivasi keingintahuan dan sosial yang juga mendorong pasien dan keluarganya datang pada layanan pengobatan di rumah sakit tanpa berdasarkan status atau prestise.
Kepercayaan pasien dan keluarga dengan layanan rujukan dan kualitas di rumah sakit sangat tinggi. Khususnya untuk pasien menderita penyakit menular endemik, penyakit penyakit kronis, komplikatif, degeneratif, keganasan, dan kecelakaan yang kini persentasenya makin meningkat.
Apakah fenomena membeludaknya pasien datang ke layanan rawat jalan rumah sakit berkaitan dengan BPJS Kesehatan yang menjamin biaya pelayanan rumah sakit?
Tak dapat terpungkiri banyak pasien ke rumah sakit dengan pembiayaan jaminan dari BPJS Kesehatan.
Dominasi pasien dengan BPJS Kesehatan dapat kita temukan di RSUD, baik kabupaten/kota maupun provinsi. Bahkan rumah sakit milik pemerintah pusat tak jauh dari peserta BPJS Kesehatan.
Banyak pula rumah sakit swasta yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, yang juga diserbu pasien dalam pelayanannya.
Beberapa Pemda terus meningkatkan kualitas dan efektifitas layanan rumah sakit daerah.
Hal yang perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan adalah waktu tunggu layanan rumah sakit yang dapat ditekan secara optimal sesuai kebutuhan layanan.
Dalam hal ini, fasilitas ruang tunggu yang nyaman, ketersediaan tenaga medis spesialistik, serta layanan berkualitas menjadi kebutuhan yang perlu dihadirkan dan terus ditingkatkan di rumah sakit.
Upaya Kemenkes untuk percepatan pendidikan dan pemenuhan dokter spesialis di Indonesia perlu mendapat dukungan lintas sektor terkait, stake holder dan masyarakat secara luas.
Indonesia membutuhkan banyak dokter spesialis dan subspesialis yang terdistribusi secara proporsional di rumah sakit.
Secara statistik tidak banyak pasien datang ke rumah sakit. Dengan keterbatasan yang ada, maka yang datang berobat mesti diantisipasi dan dikelola dengan manajemen layanan, kesigapan nakes, keselamatan pasien, serta mutu layanan yang baik.
Ketersediaan tenaga medis, pengaturan ruang pelayanan (termasuk ruang tunggu) perlu mendapat fokus yang serius.
Sehingga rumah sakit tidak menjadi fasilitas layanan kesehatan yang dibutuhkan, tapi membuat pasien dan keluarga yang datang berkunjung menjadi penat dan pusing tujuh keliling karena membeludaknya pasien yang tak terselesaikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.