Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Budaya Pamer Kemewahan di Media Sosial

Kompas.com - 24/08/2024, 18:00 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

KOMPAS.com - Influencer, artis, orang kaya, hingga pejabat, berlomba menampilkan foto-foto yang menunjukkan kekayaan, terutama pamer barang bermerek, mobil mewah, rumah megah, serta liburan kelas satu, di akun media sosialnya.

Pengguna media sosial (netizen) menyebut perilaku pamer berlebihan tersebut sebagai flexing.

Di media sosial, makna yang dikaitkan orang dengan pamer bervariasi, tetapi secara umum maknanya selalu sama, yaitu pamer kekayaan atau kesuksesan.

Menurut kamus Cambridge, pamer dapat didefinisikan sebagai menunjukkan "bahwa Anda sangat bangga atau senang dengan sesuatu yang telah Anda lakukan atau sesuatu yang dimiliki, biasanya dengan cara yang membuat orang lain kesal".

Namun, pamer juga didefinisikan sebagai "tindakan membanggakan hal-hal yang berhubungan dengan kekayaan, seperti tentang seberapa banyak uang yang Anda miliki, atau tentang barang-barang mahal seperti tas bermerek," (Kamus Urban, 2020).

Walau selebritas dan orang-orang kaya terobsesi dengan konsumerisme dan materialisme, ada motif tersembunyi yang mendorong mereka untuk terus membeli barang-barang mewah lalu memamerkannya di media sosial.

Baca juga: Siapa Mukesh Ambani, Crazy Rich Asia yang Undang Justin Bieber di Pernikahan Anaknya?

Memamerkan kekayaan menjadi satu-satunya cara mereka untuk membedakan diri dengan orang kebanyakan dan menunjukkan kesuksesan.

Dengan demikian, barang-barang material ini setara dengan kesuksesan dan kekayaan yang ingin mereka tunjukkan untuk mempertahankan status sosial. Sebagian juga menganggap dirinya sebagai "bangsawan modern".

Tidak sadar akibatnya

Walau tak sedikit netizen yang mengecam budaya pamer kekayaan di media sosial, tapi foto-foto dan video selebritas tersebut tetap meraih banyak "likes" dan penonton.

Konten-konten yang mereka buat dianggap menarik dan terus diproduksi, serta terus menambah jumlah penonton yang berarti lebih banyak uang mengalir.

Dalam dunia di mana selebritas dan influencer ini diterima sebagai komoditas, flexing adalah bagian dari pekerjaan dan bagi mereka ini murni bisnis.

Baca juga: Singgung Pejabat Flexing, Ketua KPK Harap Jokowi Tegur Anak Buah yang Telat Lapor LHKPN

Kejagung sita mobil Ferarri dan Mercedes Benz milik suami Sandra Dewi, Harvey Moeis yang menjadi tersangka kasus korupsi timah.KOMPAS.com/Rahel Kejagung sita mobil Ferarri dan Mercedes Benz milik suami Sandra Dewi, Harvey Moeis yang menjadi tersangka kasus korupsi timah.

Tak banyak dari selebritas itu yang menyadari konsekuensi dari unggahan mereka. Kebanyakan follower mereka adalah remaja dan anak-anak, yang melihat gaya hidup kelas atas itu dan menginginkan hal yang sama secara instan.

Jika melihat sisi positifnya, cerita sukses orang lain mungkin bisa menjadi motivasi. Orang dapat terinspirasi untuk bekerja lebih keras, merancang target lebih tinggi, dan meraih pencapaian serupa.

Tetapi flexing juga menciptakan tekanan sosial, terutama pada orang muda, untuk mencapai kesuksesan dan memiliki barang material. Tekanan ini akan menyebabkan stres, kecemasan, dan rasa tidak mampu pada mereka yang tak bisa memenuhi harapan sosial tersebut.

Baca juga: Daftar Barbuk Harvey-Helena: 17 Bidang Tanah, 11 Unit Mobil Mewah, dan 125 Tas Branded

Memperlebar kesenjangan

Dalam masyarakat dengan kesenjangan ekonomi yang lebar, budaya pamer dapat memperburuk perasaan dendam dan perpecahan.

Mereka yang tidak mampu mungkin merasa terpinggirkan atau iri hati, yang berpotensi memperdalam kesenjangan sosial ekonomi.

Untuk mencegah hal ini pemerintah China membuat aturan cukup keras. Di sana ada Badan Pengawas Dunia Maya yang melarang selebritas media sosial untuk memamerkan kekayaan dan kesenangan secara berlebihan. Jika melanggar, bersiaplah akun media sosial tersebut akan dihapus.

Tindakan tegas ini adalah bagian dari kampanye Pemerintah China untuk menciptakan ”lingkungan sosial-ekologis yang beradab, sehat, dan harmonis”.

Harapannya, konten-konten di media sosial akan berkualitas tinggi, jujur, dan berorientasi nilai positif agar tercipta komunitas yang baik.

Presiden China Xi Jinping menyadari kejatuhan Uni Soviet salah satunya terjadi karena ketidakpuasan rakyat terhadap para elit yang korup. Para pemimpin Tiongkok pun sangat berusaha menghindari kesalahan-kesalahan yang sama.

Baca juga: Ramai Foto Menteri Tunggu Kereta Sepulang Kerja, Gaya Hidup Sederhana Pejabat Swedia

Dari dalam negeri, Presiden Jokowi beberapa kali menyentil para pejabat yang gemar pamer harta dan memajangnya di media sosial.

Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menunjukkan reaksi yang sama. Apalagi, dalam kasus terakhir, anak buahnya di Direktorat Jendral Pajak tersandung kasus dan disorot netizen atas gaya hidupnya yang berlebihan.

Melarang orang untuk flexing mungkin mudah, tetapi akar masalahnya harus dilihat dan diselesaikan, yaitu bagaimana mempersempit jurang kesenjangan ekonomi dengan cara mempraktikkan pemerintah yang bersih dan berkeadilan sosial.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau