Seribu hari pertama kehidupan merupakan masa paling kritis dalam tumbuh kembang anak. Sebanyak 48,9 persen ibu hamil menderita anemia dan sebagian lainnya mengalami gangguan Kurang Energi Kronik (KEK) yang menyebabkan prevalensi bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) masih tinggi, yaitu sekitar (6,2 persen).
Riskesdas 2013 mencatat bahwa penurunan tumbuh kembang anak merupakan akibat dari buruknya pola makan bayi dan anak.
Hal ini menyebabkan peningkatan prevalensi stunting seiring pertambahan usia dari 29 persen (0-6 bulan), ke 39 persen (6-11 bulan), dan menjadi 42 persen (usia 24-35 bulan).
Selain fokus sasaran (kelompok prioritas), percepatan penurunan stunting juga menetapkan kelompok sasasan penting program. Kelompok ini terdiri dari balita usia 24 – 59 bulan, wanita usia subur dan remaja putri.
Namun, kelompok sasaran penting ini baru akan dilakukan intervensi jika kelompok prioritas sudah diintervensi.
Fokus wilayah ditetapkan berdasarkan tingkat prevalensi stunting yang terjadi di wilayah tersebut.
Riset Kesehatan Dasar tahun 2028 mendapatkan data adanya dua provinsi yang memiliki tingkat prevelensi stunting sangat besar, yaitu di atas 40 persen. Bahkan ada 18 provinsi dengan tingkat prevalensi stunting tergolong tinggi, yaitu antara 30-40 persen.
Artinya lebih dari separuh provinsi di Indonesia memiliki tingkat prevalensi stunting di atas 30 persen.
Sebanyak 20 provinsi ini tentu menjadi wilayah prioritas bagi upaya percepatan penurunan stunting nasional.
Hanya Provinsi Jakarta yang mempunyai prevalensi stunting di bawah 20 persen, yang tergolong sedang dan rendah.
Selain stunting, prevalensi kurus (wasting) di beberapa provinsi juga sangat tinggi, yaitu di atas 10 persen. Hal ini mengindikasikan besarnya kasus kekurangan gizi akut, dengan risiko kematian sangat tinggi, yaitu 10 kali lebih besar dibandingkan dengan anak normal.
Prevalensi wasting yang tinggi ini menambah potensi peningkatan stunting lagi.
Mengingat besarnya target dan kondisi stunting yang masih berat, maka Program Percepatan Penurunan Stunting Nasional melibatkan banyak instutusi.
Di tingkat nasional saja, setidaknya ada 20 kementerian/lembaga (K/L) yang terlibat dalam percepatan penurunan stunting. Jumlah institusi yang cukup banyak terlibat dalam penurunan stunting ini juga berdampak pada alokasi anggaran yang sangat besar, yaitu mencapai Rp 34 triliun untuk penurunan stunting yang tersebar di 20 institusi.
Banyaknya jumlah K/L yang terlibat dalam percepatan penurunan stunting mungkin disebabkan intervensi yang dilakukan bersifat multidimensi serta sasaran program yang mencakup rentang usia yang cukup bervariasi.
Rentang usianya dari 1000 HPK, balita sampai dengan perempuan usia subur, sehingga melibatkan instansi kependidikan yang terkait dengan pengelolaan anak usia dini.
Demikian pula dengan dukungan yang diperlukan dalam penanganan stunting, termasuk dari sisi sistem jaminan sosial. Sehingga kelembagaan yang mengelola jaminan sosial juga dilibatkan.
Dari aspek kebutuhan untuk berbagi peran dan saling melengkapi untuk mencapai tujuan besar percepatan penurunan stunting, keterlibatan banyak institusi ini memang cukup rasional. Namun keterlibatan banyak lembaga juga menyimpan permasalahan lain.
Masalah terbesar dari keterlibatan banyak institusi ini adalah koordinasi antarlembaga dan kemampuan leading sector dalam melakukan harmonisasi keterlibatan antarlembaga.
Dalam banyak kasus, keterlibatan banyak institusi pemerintah dalam program sering menemui masalah dalam hal koordinasi dan efektifitas kerja.
Seringkali masing-masing lembaga bekerja sendiri-sendiri tanpa memperhatikan keterkaitan program dan kegiatan yang dilakukan institusi lain.