Hal ini juga nampak pada program percepatan penurunan stunting. Progran yang dilakukan oleh instutusi kurang menjawab permasalahan yang dihadapi dalam penurunan stunting.
Hasil kajian Prasetya (2023) dan Archda (2019) menunjukkan koordinasi antarberbagai instansi pemerintah seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, dan BKKBN dalam melaksanakan program penanggulangan stunting juga belum optimal.
Selain itu, contoh sederhana adalah belum adanya lembaga yang memberikan perhatian terhadap gaya hidup dan pola konsumsi remaja putri yang tidak menjalankan gizi seimbang sehingga banyak remaja putri mengalami anemia.
Padahal perempuan usia subur yang mengalami anemia ini berkontribusi terhadap terjadinya stunting.
Problem kedua adalah terkait leading institution dalam penurunan stunting. Setelah beberapa tahun stunting ditangani oleh Kementerian Kesehatan, melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021, Presiden menugaskan BKKBN sebagai koordinator pelaksanaan percepatan penurunan stunting di lapangan.
Padahal anggaran untuk penurunan stunting paling banyak ada di Kementerian kesehatan dan berbagai kegiatan intervensi untuk penurunan stunting juga banyak yang terkait dengan sektor kesehatan.
Di tingkat daerah juga lebih dominan perangkat daerah di bidang kesehatan yang menangani program penurunan stunting dengan melibatkan rumah sakit daerah, Puskesmas dan Posyandu.
Problem ketiga terkait konvergensi anggaran. Banyaknya K/L yang terlibat dalam program percepatan penurunan stunting dengan anggaran yang tersebar juga membawa permasalahan pada adanya kebutuhan konvegensi anggaran.
Semua anggaran perlu dikonvergensikan karena dana untuk aksi percepatan penurunan stunting tersebar di 20 K/L. Dana dari pusat sekitar Rp 34 triliun harus sinergis dengan dana 20 K/L, dan dana transfer daerah
Problem berikutnya adalah dalam hal data, monitoring dan evaluasi. Program besar dengan banyak lembaga yang terlibat menuntut sinergitas data serta monitoring dan evaluasi yang lebih baik.
Dalam hal data, misalnya, di tingkat lapangan, ada kasus perbedaan data dalam mengukur penurunan stunting antara data yang digunakan dari survei kesehatan Indonesia dengan data terkait kecukupan gizi yang dilakukan daerah.
Ada daerah yang mengklaim bahwa tingkat prevalensi stunting di daerahnya sudah menurun dan rendah, namun berdasarkan hasil SKI, tingkat prevalensi stunting di daerah tersebut justru meningkat.
Padahal tantangan untuk penurunan prevalensi stunting masih sangat kompleks karena berkelindan dengan persoalan kemiskinan dan tingkat pendidikan.
Mulai dari pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang masih sangat kurang terhadap stunting dan penyebabnya, faktor sosial budaya yang berpengaruh terhadap usia pernikahan, pola konsumsi, kondisi infrastruktur khususnya penyediaan, air bersih, sanitasi dan fasilitas kesehatan.
Ada daerah dengan sumber pangan bergizi yang berlimpah, namun faktor budaya dalam mengonsumsi makanan menyebabkan stunting masih tinggi di daerah tersebut.
Ada daerah yang tidak miskin, infrastruktur baik, namun karena pola asuh anak yang buruk menyebabkan stunting tinggi di daerah tersebut.
Masih cukup banyak pekerjaan rumah untuk penurunan stunting yang dihadapi pemerintah. Target untuk mencapai tingkat prevalensi stunting sampai 14 persen pada 2024, nampaknya sangat sulit untuk dicapai.
Banyaknya K/L yang terlibat dalam percepatan penurunan stunting saja tidak cukup. Diperlukan penajaman dan integrasi kebijakan dan program, keterlibatan stakeholder di luar pemerintah, edukasi masif di masyarakat sampai yang menyentuh perbaikan pola hidup dan gaya hidup (dalam konsumsi makanan) dan pola asuh anak serta koordinasi yang baik dalam pelaksanaan program.
Evaluasi terhadap kebijakan dan program yang saat ini berjalan mutlak dilakukan. Percepatan penurunan stunting tidak boleh berhenti ketika target di 2024 tidak tercapai.
Dengan perbaikan kebijakan dan implementasi program, masih ada harapan untuk mempersiapkan dan mencetak generasi emas Indonesia di 2045.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.