KOMPAS.com - Akses ke air bersih dan sehat merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, akses air minum yang sehat dapat mendukung kesehatan dan kualitas hidup yang baik.
Meski demikian, Indonesia menghadapi tantangan berat dalam memenuhi kebutuhan air minum yang berkualitas, layak, dan aman untuk dikonsumsi.
Menurut Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2020, 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air minum dari infrastruktur yang terkontaminasi bakteri E coli. Hanya 11,9 persen rumah tangga yang memiliki akses ke air bersih untuk dikonsumsi.
Kondisi tersebut mendorong masyarakat memilih air minum dalam kemasan (AMDK) sebagai alternatif yang lebih praktis dan terjamin kualitasnya.
Data dari Badan Pusat Statistik 2023 menunjukkan, 40,64 persen rumah tangga, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan, menggunakan air kemasan bermerek dan air isi ulang sebagai sumber air minum utama.
Minat masyarakat terhadap AMDK yang semakin tinggi mendorong pertumbuhan usaha air minum dan keberagaman pilihan yang tersedia.
Meski demikian, terdapat kesalahpahaman bahwa semua air minum adalah sama di masyarakat. Anggapan ini muncul karena air galon yang terlihat jernih secara kasat mata dianggap aman untuk diminum. Padahal, air yang tampak jernih belum tentu bebas dari kontaminasi. Oleh karena itu, masyarakat harus memahami dan mengenali kualitas air yang dikonsumsi setiap hari.
Beberapa air minum yang beredar di masyarakat belum memenuhi standar kesehatan sesuai ketetapan pemerintah. Kurangnya pemahaman tentang standar air minum yang aman, sehat, dan berkualitas membuat masyarakat menganggap semua air minum aman.
Peneliti Senior di Southeast Asian Food and Agriculture and Technology (Seafast) Center IPB University Prof Ratih Dewanti Hariyadi mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati dalam mengonsumsi air minum sehari-hari.
Hal tersebut disampaikan Prof Ratih dalam webinar bertema “Safe and Sustainable Water for Quality Life” yang diselenggarakan Southeast Asian Food and Agriculture and Technology (Seafast) Center IPB dan PT Tirta Investama pada 15 Februari 2022.
Menurutnya, sebagian besar polutan atau cemaran dalam air berupa cemaran kimiawi, biologis, atau fisik yang tidak terdeteksi panca indera manusia.
Adapun cemaran kimiawi mencakup logam berat, senyawa organik sintetis, senyawa anorganik atau mineral, serta residu kegiatan pertanian. Sementara, cemaran biologis dapat berupa bakteri patogen, virus, dan protozoa.
Mengonsumsi air yang terkontaminasi mikroorganisme patogen, baik secara langsung maupun melalui makanan, dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Dalam jangka pendek, hal ini dapat menimbulkan penyakit gastrointestinal atau diare.
Sementara itu, dalam jangka panjang, paparan terhadap logam berat atau zat kimia lain dapat menyebabkan keracunan akut dan kronis, kerusakan organ, anemia, serta kanker.
Kesalahpahaman lain yang berkembang di masyarakat adalah anggapan bahwa bakteri dalam air minum isi ulang akan mati jika air direbus pada suhu 100 derajat Celcius dalam waktu lama. Faktanya, merebus air dalam waktu lama tidak menjamin kualitas air layak untuk dikonsumsi.