KOMPAS.com- Hujan sangat deras mengguyur Kota Semarang, Selasa sore, akhir November 2024. Beberapa ruas jalan tergenang, bahkan banjir melanda beberapa wilayah di Semarang, membuat kota lumpia itu nyaris lumpuh.
Namun, banjir itu tak menghalangi Itis Arliani, koordinator Rumah Anak SIGAP Bandarharjo, Semarang Utara, Kota Semarang menunaikan tugasnya. Tepat pukul 16.00 WIB, Itis datang.
Ia sudah ditunggu 2 “muridnya”, balita usia 24-36 bulan yang tergabung di kelompok Bintang Terang.
“Kemarin belajar apa?” tanya Itis.
Senyum ceria terlihat di wajah ibu 2 anak ini meski roknya basah kuyup.
Baca juga: Makanan Khusus untuk Memperbaiki Kondisi Anak Stunting
Gavi (2), salah satu siswa menjawab dengan pelan “berhitung”, lalu Gavi yang datang diantar kakaknya Fina (20) bernyanyi lagu “Balonku”.
Tak sampai setengah jam, perhatian Gavi dan satu temannya sudah beralih ke aneka permainan yang terdapat di Rumah Anak SIGAP Bandarharjo. Mereka berlarian, menyusun balok, main bola, bermain perosotan kecil, dan memainkan aneka permainan edukatif lain, sampai akhirnya tiba waktu pulang.
“Anak usia dini memang tak bisa lama konsentrasinya. Kami biarkan saja mereka bermain, namun kami punya program yang disusun setiap bulan,” ujar Afifah Nur'aini, Project Officer Rumah Anak SIGAP Semarang.
Rumah Anak SIGAP adalah pusat layanan pengasuhan dan pembelajaran dini untuk anak usia 0-3 tahun dan menyasar orangtua dan pengasuh utama sebagai penerima manfaat.
Rumah Anak SIGAP merupakan bagian dari SIGAP yakni inisiatif dari lembaga filantropi Tanoto Foundation di bidang pengembangan anak usia dini dalam rangka mempersiapkan generasi masa depan yang berkualitas.
Menurut Afifah, ada 4 kelompok yang dibuka berdasarkan usia anak, yakni Bintang Kecil (usia 0-6 bulan), Bintang Ceria (6-12 bulan), Bintang Pijar (12-24 bulan), dan Bintang Terang (24-36 bulan). Satu kelompok terdiri dari 10 anak dan setiap hadir di kelas, yang berlangsung seminggu sekali wajib didampingi pendamping, entah itu orangtua, kakek nenek, atau kakak.
Seperti sore itu, Gavi ditemani sang kakak Fina. Menurut Fina, belajar di Rumah Anak SIGAP membuat Gavi lebih mandiri. Bocah 2 tahun itu sudah tidak takut lagi bertemu dengan orang baru dan mampu mengutarakan pendapatnya.
Gavi dan Fina tinggal di rumah susun (Rusun) Bandarharjo. Di tempat itu, tak banyak anak seusia Gavi sehingga ia sulit bersosialisasi. Di Rumah Anak SIGAP, Gavi bisa bertemu anak sebayanya.
Setelah kelas berakhir, Itis tak langsung pulang. Bersama rekannya sesama fasilitator di Rumah Anak SIGAP, Candra Wulandari yang akrab disapa Wiwik, Itis mengunjungi rumah murid-muridnya.
Sore itu, Itis dan Wiwik mengunjungi rumah Muhammad Qaddaffa Alfarizky (2,5) yang tinggal bersama ibunya Hani Novita (27), ayahnya, sang nenek Jumiyati, serta beberapa anggota keluarga lainnya.
Menurut Hani, yang bekerja sebagai karyawati retail, anaknya mengalami banyak perkembangan setelah bergabung di Rumah Anak SIGAP.