KOMPAS.com- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan mengusulkan kepada Kementerian Kesehatan agar memasukkan ketamin ke dalam golongan psikotropika.
Sebab, BPOM melihat adanya tren peningkatan penyalahgunaan ketamin hingga tahap mengkhawatirkan.
“Kita, kalau tidak hati-hati, akan menimbulkan kecemasan. Saya melihat ini sangat mengerikan trennya, dalam waktu satu tahun meningkat hampir 100 persen. Secara spesifik saya mengatakan tren peningkatan distribusi ketamin pada tahap mengkhawatirkan,” tutur Kepala BPOM Taruna Ikrar, dikutip dari rilis resmi.
Baca juga: Obat Tanpa Label BPOM Jadi Ancaman Serius bagi Kesehatan Masyarakat
Kekhawatiran ini didasarkan pada hasil pengawasan BPOM yang menemukan ketamin injeksi diperjualbelikan di fasilitas pelayanan kefarmasian, terutama apotek, di beberapa provinsi.
Hal ini melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mewajibkan penyerahan obat keras berdasarkan resep dokter.
Apotek tidak diperbolehkan menyerahkan obat secara langsung kepada masyarakat dan digunakan tanpa pengawasan tenaga medis.
“BPOM melakukan pengawasan khusus atau intensifikasi terhadap peredaran ketamin ini karena BPOM melihat adanya pelanggaran dan penyimpangan peredaran ketamin, baik di fasilitas distribusi maupun pelayanan kefarmasian," ujar Taruna Ikrar.
Taruna Ikrar menjelaskan, tren penyaluran ketamin ke fasilitas pelayanan kefarmasian mengalami peningkatan. Peredaran ketamin injeksi ke fasilitas pelayanan kefarmasian pada 2022 sebanyak 134 ribu vial, meningkat 75 persen pada 2023 menjadi 235 ribu vial. Pada 2024 menjadi 440 ribu vial atau meningkat sebanyak 87 persen dibandingkan tahun 2023.
“Dari data tersebut, terdapat peningkatan jumlah ketamin injeksi yang didistribusikan ke apotek. Distribusi ketamin injeksi ke apotek pada tahun 2024 sejumlah 152 ribu vial atau naik 246 persen dibandingkan tahun 2023 yang hanya 44 ribu vial,” ungkapnya.
Baca juga: Ini 4 Langkah Cegah Keracunan Pangan Menurut BPOM, Cek Label Kemasan
Hasil temuan BPOM juga menunjukkan 7 provinsi di Indonesia yang menjadi lokus penyimpangan peredaran ketamin injeksi sepanjang tahun 2024, yaitu Lampung, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat.
Provinsi Lampung mencatatkan angka penyimpangan tertinggi dengan 5.840 vial ketamin. Sementara itu, tiga provinsi lainnya yang juga menunjukkan angka tinggi adalah Bali dengan 4.074 vial, Jawa Timur sebanyak 3.338 vial, dan Jawa Barat dengan 1.865 vial.
Ketamin banyak disalahgunakan untuk memberikan efek “rekreasional” dari efek samping euforia atau rasa gembira yang berlebihan dikarenakan dosis penggunaan yang tidak tepat.
Penyalahgunaan ketamin dapat berdampak buruk pada psikologis, fisik, sistem saraf, dan gangguan kesehatan mental dalam jangka panjang.
Dampak buruk psikologis penyalahgunaan ketamin dapat berupa halusinasi, gangguan kognitif, dan memori, serta kecemasan hingga depresi. Dampak buruk fisik antara lain kerusakan pada sistem saluran kemih, masalah pernapasan, kerusakan ginjal dan hati. Dampak buruk pada sistem saraf antara lain disfungsi kognitif, risiko kejang, dan kecanduan psikologis. Sedangkan dampak buruk bagi kesehatan mental dalam jangka panjang antara lain psikosis, skizofrenia, dan risiko bunuh diri.
Taruna Ikrar menegaskan BPOM akan lebih memperketat pengawasan terhadap ketamin dengan mengelompokkan ketamin dalam daftar obat-obat tertentu (OOT) yang sering disalahgunakan “BPOM akan merevisi Peraturan Kepala BPOM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan dengan memasukkan ketamin di dalamnya,” ungkapnya.
Taruna Ikrar menginstruksikan pelaku usaha di bidang farmasi agar meningkatkan kewaspadaan terhadap pengelolaan ketamin dalam rangka mencegah penyimpangan peredaran ke pihak tidak berwenang.
“BPOM takkan segan memberikan sanksi tegas, termasuk tuntutan sanksi pidana, bagi pelaku usaha yang tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan,” tegasnya.
BPOM juga mengimbau masyarakat agar tidak menyalahgunakan ketamin karena dapat menyebabkan dampak buruk/serius bagi kesehatan, bahkan hingga berujung kematian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.