KOMPAS.com - Batuk pilek adalah salah satu penyakit umum yang menyerang anak-anak terutama di musim hujan seperti saat ini.
Apakah penggunaan antibiotik bisa membantu mengobati batuk pilek? Mungkin ini menjadi pertanyaan orang tua.
Artikel ini akan menjelaskan mengenai perlukah anak yang batuk pilek diberi obat antibiotik. Prof. DR Dr Edi Hartoyo, SpA(K), Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) akan menerangkannya.
Baca juga: Apa Makanan dan Minuman Terbaik Saat Batuk Pilek? Ini Pilihannya...
Edi menyampaikan bahwa obat antibiotik hanya akan efektif mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
Oleh karena itu, penyakit tidak akan sembuh meski diberikan antibiotik yang bagus, jika penyebabnya bukan karena bakteri.
Dokter spesialis anak ini menyebut bahwa batuk pilek adalah salah satu penyakit umum yang biasanya tidak membutuhkan obat antibiotik.
"Penyebab batuk pilek bisa banyak, bisa karena alergi, sebagian besar karena virus, sebagian kecil oleh bakteri," kata Edi dalam Media Briefing IDAI pada Selasa (10/12/2024).
Anak batuk pilek tidak membutuhkan obat antibiotik, jika ingus atau lendirnya encer dan suhu tubuh tidak terlalu tinggi.
"Itu kemungkinannya dua, kalau tidak virus, ya alergi. Oleh sebab itu, tidak diperlukan antibiotik," ujarnya.
Edi menyebutkan ciri-ciri anak batuk pilek yang membutuhkan obat antibiotik adalah mereka yang mengeluarkan lendir berwarna hijau dan kental disertai demam tinggi.
Edi mengatakan, demam yang hanya berlangsung 1-2 hari, lalu turun, tidak sebabkan oleh infeksi bakteri, sehingga tidak membutuhkan obat antibiotik.
"Sebagian besar batuk pilek kalau kurang dari satu minggu disebabkan oleh virus, sehingga tidak diperlukan antibiotik," jelasnya.
Baca juga: Biar Enggak Tambah Parah, Konsumsi Asupan Ini Saat Batuk Pilek
Dikutip dari Hopkins Medicine, penelitian menunjukkan bahwa sekitar 70.000 anak mengunjungi layanan gawat darurat setiap tahun karena reaksi antibiotik.
Jika diresepkan secara tidak tepat, efek samping obat antibiotik yang bisa terjadi meliputi diare, serta cedera hati dan ginjal.
Antibiotik dapat berinteraksi dengan obat lain yang mungkin anak konsumsi, dan juga bisa memicu reaksi alergi yang terkang mengancam jiwa.
Efek samping serius dari penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan resistensi antibiotik.
Resistensi antimikroba terjadi ketika bakteri mengembangkan kemampuan untuk mengalahkan obat yang dirancang untuk membunuh mereka. Itu berarti bakteri terus tumbuh.
Dikutip Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat (CDC), infeksi bakteri yang resistan bisa jadi sulit, dan terkadang mustahil, untuk diobati.
Bakteri tidak harus resisten terhadap setiap antibiotik untuk memberikan efek berbahaya. Resistensi terhadap satu antibiotik saja bisa berarti masalah serius.
Sementara itu, sebanyak 86,1 persen masyarakat Indonesia menyimpan antibiotik di rumah tanpa resep dokter, menurut Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2013.
"Sebagian besar antibiotik harus dengan resep dokter, tapi kenyataan di lapangan tidak demikian," ucap Edi.
Dengan begitu, tinggi risiko terjadinya resistensi antibiotik pada anak-anak.
Baca juga: Tips Mengatasi Batuk, Pilek, dan Demam pada Anak Menurut Dokter
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.