Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tulus Abadi
Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik

Bekerja di YLKI 30 tahun, sejak 1996. Dan menjadi Ketua Pengurus Harian YLKI selama 8 (delapan) tahun, sejak 2015-2024. Saat ini sebagai Pengurus Harian YLKI. Dan juga sbg Anggota BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol) unsur Masyarakat, Kementerian PUPR. Plus sbg Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau, dan Anggota APEI (Asosiasi Pengamat Energi Indonesia)

Bom Waktu Defisit Finansial BPJS Kesehatan

Kompas.com - 16/12/2024, 05:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DIREKTUR Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti beberapa minggu terakhir "bersenandung" bahwa pada pertengahan 2025, iuran peserta BPJS Kesehatan berpotensi mengalami kenaikan.

Loh, kok bisa? Iya, karena penyakit lama finansial BPJS Kesehatan kambuh lagi, yakni mengalami "financial bleeding" alias defisit keuangan.

Jika tak ada injeksi dari kenaikan iuran, maka dikhawatirkan BPJS Kesehatan akan mengalami gagal bayar. Waduh, gawat!

Fenomena defisit finansial ini tentu mengejutkan. Sebab sejak 2020, sejatinya finansial BPJS Kesehatan sudah mencapai surplus.

Baca juga: Paradoks Kenaikan PPN 12 Persen

Kok kini mengalami "bleeding" lagi? Publik tentu bertanya-tanya, apa penyebab itu semua? Dan apakah kenaikan iuran menjadi solusi tunggal untuk mengatasi "financial bleeding" tersebut?

Klaim dari Ghufron Mukti, jebolnya finansial BPJS Kesehatan karena pemakaian peserta BPJS Kesehatan yang membludak, sampai 1,2 juta pemakaian per hari! Angka ini melambung tinggi dari semula hanya sekitar 750.000 pemakaian per harinya.

Jika kita berhenti pada angka statistik utilitas oleh peserta BPJS Kesehatan an sich, maka bisa jadi klaim itu masuk akal.

Namun, kita tidak boleh berhenti pada angka statistik semata. Harus kita pertanyakan lebih keras, kenapa angka utilitasnya melambung tinggi, dan adakah faktor krusial lainnya?

Tingginya angka statistik tersebut bukan menjadi sebab tunggal, tetapi juga dipicu sebab lain, yakni jenis penyakit tertentu yang mendominasi utilitas BPJS Kesehatan.

Jenis penyakit tertentu dimaksud adalah jenis penyakit katastropik, yang terbukti menjadi "monster" penghisap finansial BPJS Kesehatan.

Karakter penyakit katastropik, seperti kanker, stroke, diabetes melitus dan jantung koroner; benar benar menggerus kantong finansial BPJS Kesehatan.

Contoh, penyakit jantung koroner, menggerus Rp 23 triliun pada 2023 yang lalu!

Baca juga: Menkes: Masyarakat Tak Perlu Khawatirkan Iuran BPJS Kesehatan 2025

Keempat jenis penyakit katastropik ini memang menjadi biang kerok pelayanan BPJS Kesehatan secara keseluruhan.

Ironinya, angka prevalensinya malah terus mengalami kenaikan, bukan mengalami penurunan. Artinya, ada masalah yang sangat serius di sisi hulu, yakni faktor gaya hidup tidak sehat.

Gaya hidup tidak sehat inilah sejatinya yang menjadi sumber utama ambruknya finansial BPJS Kesehatan.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau