INDIRA PERMANASARI/HARRY SUSILO
KOMPAS.com — Sudah sepuluh tahun Wagita (58) berjualan jamu gendong di samping sebuah kantor percetakan di kawasan Palmerah, Jakarta Pusat. Para pelanggannya yang kebanyakan para pekerja malam itu biasanya langsung menyebutkan keluhan mereka dan memasrahkan racikan kepada Wagita.
Bagi masyarakat, jamu atau ramuan obat tradisional Indonesia sebetulnya bukan hal baru. Ramuan dari tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral itu secara turun-temurun digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Wagita, misalnya, tidak tahu pasti kandungan dalam tanaman obat racikannya dan cara bekerjanya dalam tubuh. Tetapi, perempuan itu meyakini bahan alami itu berkhasiat dan sudah terbukti. Puluhan tahun dia minum jamu untuk enyahkan pegal linu.
Dia belajar membuat jamu saat usia 15 tahun dari perempuan Jawa di tempat kerjanya. Dia hanya diberitahu bahan dan cara membuatnya kemudian mencicipi. ”Semua dicatat dalam hati,” ujarnya. Dia mengajar lisan anaknya meracik jamu.
Pada skala lebih besar, tidak banyak industri obat herbal menempuh uji praklinik dan klinik. Baru 5 jenis fitofarmaka dan 12 jenis obat herbal terstandar.
Pada dasarnya, ada tiga jenis produk herbal, yaitu jamu tradisional, Obat Herbal Terstandar (ada standardisasi bahan baku), dan fitofarmaka (telah melalui uji praklinis dan uji klinik sama dengan obat konvensional).
Senior Manager Research and Development PT Mustika Ratu Devita Agus mengatakan, uji klinis butuh biaya miliaran rupiah. Di perusahaannya dikembangkan sekitar 200 tanaman obat untuk tindakan preventif dan promotif kesehatan. Kemasan disesuaikan seperti bentuk teh, kaplet, dan kapsul.