Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Anda Tak Bisa Berhenti Makan?

Kompas.com - 23/04/2011, 20:13 WIB

Oleh : Irsyalrusad

Hmmmm... enak sekali makan Ibu dan Anak itu”, gumam saya, waktu melihat mereka sedang makan donat penuh coklat di suatu ruang tunggu di bandara. Terlihat wajahnya yang puas dan menikmati donat demi donat yang masuk ke dalam mulutnya. Saya tidak tahu berapa potong donat yang telah mereka makan. Tapi saya lihat, mereka baru berhenti, setelah penumpang sudah harus boarding.

Sampai di pesawat, waktu saya berjalan ke toilet, Ibu dan Anak ini yang duduk di bangku belakang, terlihat lagi sedang asyik-asyiknya kembali makan donat-donat itu. Air liur saya seperti mau menetes, seperti ingin juga menikmatinya, tapi syukurlah saya tidak jadi membelinya waktu di bandara. Ada keinginan untuk itu juga, paling tidak buat oleh-oleh, namun urung, timbul pertanyaan dalam diri saya, “apa tidak lebih baik saya membawa oleh-oleh yang lebih sehat?”

Setelah kembali duduk di kursi, bayangan Ibu dan Anak yang lagi menikmati donat itu masih menyelimuti saya. “Kenapa mereka makan seperti itu? Apakah memang mereka lagi lapar, membutuhkannya? Apa hanya karena punya uang, kemudian membelinya? Atau bahkan sekedar ingin menikmatinya, merasakan kelezatannya?” Entahlah, tapi banyak kita sekarang, makan hanya dengan alasan-alasan seperti itu, karena punya, tersedia, lagi ditraktir, karena makan itu nikmat, lezat.

Disamping bayangan Ibu dan Anak itu, pikiran saya menerawang jauh kepada beberapa pasien yang pernah saya rawat, yang mempunyai kebiasaan yang sama. Sebagian besar mereka sekarang sedang mengalami masalah dengan kesehatannya. Ada yang dengan obesitas, hipertensi, kencing manis, ganguan jantung dan sebagainya.

Seorang pasien, wanita, masih sangat muda sekali, umur sekitar 30 tahun yang konsultasi dengan saya beberapa minggu lalu, bahkan mengalami obesitas, diabetes mellitus dan gagal jantung. Pasien ini memang mempunyai kebiasaan minum eskrim dan minuman kemasan, terutama minuman kaleng yang sangat manis itu.

Menurut pengakuan pasien, kebiasaan itu bahkan sudah dimulainya sejak duduk di sekolah menengah pertama. Dua sampai tiga atau bahkan lebih minuman kaleng favoritnya, diteguknya setiap hari, belum lagi makanan, minuman manis lainnya. Waktu saya tanyakan,” kenapa sampai begitu?” “Ngak tahu dokter”, jawabnya. “Saya seperti tidak bisa menghentikannya. Saya merasa gelisah, tidak tenang, belum puas sebelum mendapatkannya”, katanya lagi.

Melihat Ibu dan Anak yang sedang menikmati donat itu, dan beberapa pasien saya dengan perilaku yang sama, saya ingat sebuah buku tentang Prediabetic. Salah satu yang dibahas secara singkat dalam buku itu adalah apa yang dinamakannya sebagai Food addictions, suatu perilaku makan yang banyak menjangkiti kita sekarang dan juga pada mereka menjelang timbulnya diabetes mellitus.

Sebagai suatu kecanduan, food addictions, tidak jauh berbeda sebenarnya dengan kecanduan lainnya seperti alkohol, rokok, bahkan obat-obatan. Perubahan kimiawi yang terjadi juga hampir sama. Di otak, pada orang gemuk dapat terjadi peningkatan neurotransmitter dopamin, yang mempunyai efek menenangkan, merasa puas, terutama setelah mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung karbohidrat olahan dan gula.

Maka, tidak heran Anda akan bolak balik membuka pintu kulkas mencari makanan dan minuman yang anda simpan di dalamnya. Anda juga akan memilih makanan dan minuman yang manis-manis. Sambil duduk menonton TV mulut Anda tidak akan berhenti memamah sesuatu yang Anda sukai. Bahkan, untuk sekedar merasa senang, puas, menghilangkan kebosanan mulut Anda akan sibuk dengan sebuah permen di dalamnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com