Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pangan Lokal untuk Generasi Muda

Kompas.com - 14/03/2012, 02:10 WIB

Samuel Oktora

”More manggo, ga’i rawi dhato, ola ngango Ngga’e no’o embu mamo”. Ungkapan dalam bahasa luhur etnik Lio, Ende, itu menempel di dinding anyaman bambu di restoran Pangan Lokal Ende-Lio, Jalan Melati, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Ini adalah ekspresi kegembiraan atas hasil karya. Namun, bukan dari diri sendiri, tetapi dari Tuhan dan didukung para leluhur.

Restoran dengan desain berciri khas rumah adat setempat itu beratap alang-alang dan berdinding kulit bambu. Restoran ini khusus menyajikan menu pangan lokal Ende-Lio. Masakannya mengandalkan bahan dan bumbu lokal tanpa penyedap rasa.

Sosok di belakang restoran itu adalah Suster Martini CIJ. Ia menjadikan ungkapan tersebut sebagai moto saat mendirikan restoran pangan lokal di Ende tahun 2010. ”Itu mengingatkan kami bahwa keberhasilan berasal dari Tuhan dan didukung leluhur. Ini yang menguatkan kami untuk bertahan,” katanya.

Sekitar 22 tahun lalu, saat bergabung dengan tarekat Katolik, Kongregasi Pengikut Yesus, Martini mendapati pangan lokal di Ende-Lio ternyata nyaris punah. Di sisi lain, banyak anak-anak yang kondisi fisiknya lemah. Mereka mudah sakit dan umumnya berpenyakit kulit.

Ia prihatin sebab fenomena itu bertolak belakang dengan generasi tua yang umumnya sehat, kuat, dan berumur panjang meski harus bekerja keras di ladang dengan medan yang terjal.

Martini berusaha mencari tahu penyebabnya. Rupanya tren masyarakat kini, termasuk di pedesaan Flores, lebih menyukai makanan serba instan dengan campuran bahan kimia. Jenis makanan ini dikonsumsi banyak anak-anak.

”Anak-anak yang sakit kulit, waktu diberi minyak ramuan tradisional, bisa sembuh. Tetapi, begitu mereka kembali mengonsumsi makanan instan, bisul dan gatal-gatal muncul lagi. Tetapi, entah mengapa, pangan lokal yang menyehatkan itu justru kami tinggalkan,” katanya.

Karena itu, Martini lalu berupaya menarik kembali minat masyarakat pada pangan lokal, terutama anak mudanya. ”Pangan lokal yang menghidupi kita sejak dulu dilupakan. Tak heran bila tanaman pangan kita diserang kera,” katanya menambahkan.

Lewat restoran

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau