Samuel Oktora
Restoran dengan desain berciri khas rumah adat setempat itu beratap alang-alang dan berdinding kulit bambu. Restoran ini khusus menyajikan menu pangan lokal Ende-Lio. Masakannya mengandalkan bahan dan bumbu lokal tanpa penyedap rasa.
Sosok di belakang restoran itu adalah Suster Martini CIJ. Ia menjadikan ungkapan tersebut sebagai moto saat mendirikan restoran pangan lokal di Ende tahun 2010. ”Itu mengingatkan kami bahwa keberhasilan berasal dari Tuhan dan didukung leluhur. Ini yang menguatkan kami untuk bertahan,” katanya.
Sekitar 22 tahun lalu, saat bergabung dengan tarekat Katolik, Kongregasi Pengikut Yesus, Martini mendapati pangan lokal di Ende-Lio ternyata nyaris punah. Di sisi lain, banyak anak-anak yang kondisi fisiknya lemah. Mereka mudah sakit dan umumnya berpenyakit kulit.
Ia prihatin sebab fenomena itu bertolak belakang dengan generasi tua yang umumnya sehat, kuat, dan berumur panjang meski harus bekerja keras di ladang dengan medan yang terjal.
Martini berusaha mencari tahu penyebabnya. Rupanya tren masyarakat kini, termasuk di pedesaan Flores, lebih menyukai makanan serba instan dengan campuran bahan kimia. Jenis makanan ini dikonsumsi banyak anak-anak.
”Anak-anak yang sakit kulit, waktu diberi minyak ramuan tradisional, bisa sembuh. Tetapi, begitu mereka kembali mengonsumsi makanan
Karena itu, Martini lalu berupaya menarik kembali minat masyarakat pada pangan lokal, terutama anak mudanya. ”Pangan lokal yang menghidupi kita sejak dulu dilupakan. Tak heran bila tanaman pangan kita diserang kera,” katanya menambahkan.