Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/08/2015, 07:25 WIB

Oleh: Nur Hidayati

Pada era digital kini, seorang anak sudah berhadapan dengan ancaman kejahatan seksual sejak usia dini. Karena itu, orangtua pun dituntut mampu membimbing anak memahami seksualitas dan memiliki konsep diri yang kuat sejak kanak-kanak.

Betapa kagetnya Ika Florentina (39) saat putrinya, Lintang (12), bercerita tentang teman sekelas yang girang mendapat uang dari seorang pria setelah si gadis kecil itu dilecehkan secara seksual. Dadanya disesaki kekhawatiran. Apalagi, Ika tinggal berbeda kota dengan buah hatinya.

”Aku kaget dan khawatir banget, tetapi berusaha menyembunyikannya supaya Lintang tetap nyaman cerita padaku,” ujar Ika yang bekerja sebagai guest service manager di Hotel Ibis Budget Daan Mogot, Jakarta.

Karena tuntutan pekerjaan, Ika tinggal di Jakarta, sementara suami dan dua putrinya tinggal di Solo, Jawa Tengah. Setiap malam, Ika menyempatkan berbincang dengan anak-anaknya melalui telepon. ”Saat ngobrol dengan anak-anak, aku benar-benar mencurahkan perhatian dan perasaan hanya untuk mereka. Itu satu-satunya cara karena kami cuma ketemu satu atau dua bulan sekali,” ujarnya.

Upaya Ika membangun komunikasi yang berkualitas dengan anak-anaknya, meski tinggal berjauhan, tak sia-sia. Ia kerap lebih dulu tahu masalah yang dihadapi anak-anaknya di sekolah maupun dalam pergaulan dibandingkan dengan sang ayah yang tinggal bersama mereka. Anak-anaknya merasa bebas bercerita apa saja.

Putri keduanya, Ken (8), yang masih duduk di kelas II SD, misalnya, meminta ibunya menjelaskan istilah ”pelecehan seksual” yang ia dengar dari berita TV. Sementara Lintang kerap bercerita tentang bagaimana teman-temannya di kelas V SD berpacaran. Dengan bahasa sederhana tetapi gamblang, Ika pun berdiskusi pada anak-anaknya soal seksualitas.

”Zaman sekarang orangtua tidak cukup lagi bilang jangan. Misalnya ketika Lintang cerita tentang temannya yang kecanduan game yang bermuatan kekerasan dan seks, aku tanya pendapat dia. Apa untungnya, apa bahayanya, sampai dia sendiri bisa menilai bahwa itu tidak baik,” kata Ika.

Meski kedua anaknya masih duduk di bangku SD, Ika sudah menanamkan pada mereka konsep harga diri. ”Perempuan itu harus pintar dan kuat, tidak seolah menjual murah dirinya pada siapa pun,” ujarnya.

Kegiatan positif

Seperti Ika, Samantha (43) meyakini, anak-anak pada zaman digital ini sudah ”berevolusi”. Ketika memberi fasilitas gawai pada Lolita (13), Samantha membuat kesepakatan dengan putri tunggalnya itu bahwa ia akan selalu mengecek penggunaan gawai itu. ”History di HP bisa dihapus, tetapi anak juga kadang lupa. Kalau kita sering cek, pasti ketahuan. Aku cari tahu situs apa yang sering ia buka. Aku perhitungkan juga durasi dia online,” ujar Samantha.

Samantha pun hanya membolehkan putrinya pergi dengan teman yang ia kenal dalam batas waktu yang disepakati. ”Aku juga berusaha kenal orangtua teman Lolita yang pergi dengannya. Kalau dia tidak mau aku bicara dengan temannya, aku tidak akan mengizinkan dia pergi,” ujarnya.

Ibu yang menamatkan kuliah di Jepang ini juga membimbing putrinya berkegiatan positif yang diminati si anak. Lolita jadi anggota tim sepak bola putri di sekolahnya. Gadis kecil ini juga rajin berlatih boxing dan yoga. ”Harus ada kegiatan positif yang menyerap kelebihan energinya,” ujar Samantha.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com