Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/11/2016, 14:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Seiring penuaan populasi dan bertambahnya kesejahteraan warga, risiko diabetes melitus di Indonesia akan kian besar. Jika tak segera diantisipasi, penyakit yang hanya bisa dikelola tanpa bisa disembuhkan itu akan membebani ekonomi dan pembangunan bangsa.

Jumlah penduduk yang besar membuat jumlah penderita diabetes di Indonesia juga banyak. Federasi Diabetes Internasional (IDF) pada 2015 menempatkan Indonesia pada urutan ketujuh negara dengan penderita diabetes dewasa terbanyak di dunia, 10 juta orang. Jumlah itu akan menjadi 16,2 juta orang pada 2040 dan naik ke peringkat keenam.

Menurut Ketua Jakarta Diabetes Meeting (JDM) 2016 Rr Dyah Purnamasari Sulistianingsih, di Jakarta, Selasa (8/11), pengendalian diabetes penting. Sebab, jumlah kasus banyak dan risiko komplikasinya besar.

"Komplikasi diabetes akan jadi masalah sosioekonomi serius," kata Dyah yang juga konsultan endokrin metabolik diabetes Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan tahun 2015 mengeluarkan dana Rp 3,27 triliun untuk membiayai 3,32 juta kasus pengobatan terkait diabetes di fasilitas kesehatan rujukan. (Kompas, 9 April 2016)

Biaya itu diperuntukkan 813.373 pasien, 47 persennya berobat dengan diabetes sebagai penyakit utama atau penyerta. Mayoritas pasien justru berobat untuk penyakit komplikasi diabetes, seperti luka gangren, gangguan penglihatan, gagal ginjal, penyakit jantung, dan stroke.

Namun, beban riil akibat diabetes jauh lebih besar dari itu. Pada 2015, baru 60 persen penduduk yang jadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional atau banyak pasien diabetes membayar sendiri pengobatannya. Selain itu, sekitar 70 persen pasien diabetes di Indonesia belum terdiagnosis sehingga tak berobat.

Beban ekonomi itu belum memperhitungkan waktu kerja yang hilang, waktu produktif anggota keluarga terbuang untuk menemani pengobatan pasien, dan pengeluaran lain untuk menunjang hidup pasien diabetes.

Tanggungan negara itu akan kian besar karena jumlah penderita diabetes usia muda di Indonesia terus meningkat. "Kini banyak orang usia 20-an tahun sudah terkena diabetes karena gemuk sejak kecil," ucap Dyah.

Apalagi, secara evolusi, manusia Indonesia memiliki jumlah sel beta penghasil insulin di pankreas yang jumlah dan fungsinya lebih rendah dibanding bangsa Barat. Itu membuat perubahan kondisi prediabetes jadi diabetes di Indonesia amat cepat, mulai dari enam bulan.

Pengelolaan gula darah

Sebagai penyakit degeneratif, semua negara menghadapi diabetes. Di negara maju dengan sistem kesehatan baik dan tingkat pendidikan warga lebih tinggi pun sulit menahan laju pertambahan kasus diabetes dan kontrol kadar gula darah mereka.

"Pengelolaan diabetes bergantung pada kesadaran dan pengendalian diri tiap individu," kata Ketua Seksi Ilmiah JDM 2016 yang juga konsultan endokrin metabolik diabetes RSCM-FKUI, Suharko Soebardi.

Untuk itu, penanganan diabetes harus komprehensif. Edukasi pasien dan keluarga perlu terus dilakukan. Penyandang diabetes perlu didorong beraktivitas fisik, mengatur pola makan, mematuhi jadwal minum obat, dan rutin mengecek gula darah.

Pemeriksaan kadar gula darah secara rutin sebagai tata laksana pengendalian diabetes kerap terabaikan. Padahal, itu bisa dilakukan mandiri, tidak harus di laboratorium. Dengan demikian, pasien bisa mengatur pola makan dan aktivitas fisik, serta menekan risiko komplikasi penyakit. (MZW)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 November 2016, di halaman 14 dengan judul "Waspadai Lonjakan Pengidap Diabetes".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com