KOMPAS.com - Masturbasi adalah aktivitas seks yang dilakukan oleh banyak orang, baik pria maupun wanita.
Namun mitos tentangnya masih banyak beredar.
Melansir dari Medical News Today, hal ini disebabkan, sampai hari ini masturbasi sangat distigmatisasi di banyak masyarakat di seluruh dunia, mungkin karena itu dapat dilakukan di luar hubungan heteronormatif dan monogami.
Sementara itu, penelitian menunjukkan bahwa kesenangan masturbasi dapat membawa berbagai manfaat kesehatan, termasuk menghilangkan stres, memperbaiki suasana hati, dan menghilangkan rasa sakit, termasuk meredakan kram menstruasi.
Akhir-akhir ada mitos yang beredar bahwa masturbasi yang dilakukan pada laki-laki dapat meningkatkan imun, benarkah demikian?
Baca juga: Benarkah Masturbasi Dapat Menyebabkan Depresi?
Studi yang melihat dampak potensial masturbasi pada sistem kekebalan sangat sedikit dan jarang.
Selain itu, studi tersebut dipengaruhi oleh kesenjangan data gender sehingga bisa dikatakan kurang komprehensif.
Satu studi dari tahun 2004 meminta 11 sukarelawan pria untuk masturbasi sampai orgasme.
Para peneliti mengambil darah dari para partisipan ini saat mereka masturbasi, serta selama pengaturan kontrol, ketika tidak ada aktivitas seksual yang terlibat.
Mereka kemudian mengukur keberadaan berbagai penanda aktivitas sistem kekebalan dalam darah, yakni leukosit, limfosit, interleukin 6 yang diinduksi lipopolisakarida, dan faktor nekrosis tumor alfa, selama kondisi kontrol, serta sebelum orgasme, dan pada 5 dan 45 menit setelah mencapai orgasme melalui masturbasi.
Studi tersebut menemukan bahwa masturbasi untuk sementara meningkatkan aktivitas beberapa komponen sistem kekebalan, yaitu leukosit, dan khususnya sel pembunuh alami yang melawan sel tumor kanker dan sel yang terinfeksi virus.
Selama bertahun-tahun, banyak media telah mengutip penelitian ini untuk mendukung gagasan bahwa masturbasi dapat membantu meningkatkan respons kekebalan.
Namun para ahli kesehatan memperingatkan bahwa penelitian lebih lanjut sangat diperlukan.
Studi baru yang diterbitkan pada tahun 2016 meneliti 31.925 peserta pria yang menjawab kuesioner tentang frekuensi ejakulasi selama periode 18 tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk memastikan apakah ada hubungan antara frekuensi ejakulasi dengan risiko kanker prostat.