Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/11/2013, 08:33 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com -
Pengetahuan tentang Air Susu Ibu mungkin bukan hal baru pada sebagian orang. Namun kenyataan berbicara, tidak semua masyarakat mengetahui cara pemberian dan manfaat ASI. Kalaupun tahu, mereka belum tentu bisa menerapkannya karena tersandung keyakinan masyarakat.
 
Hal inilah yang dirasakan Junari (33), warga desa Cempi Jaya, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Terbatasnya pengetahuan membuatnya tidak memberikan ASI eksklusif penuh pada anak pertamanya. Anak sulungnya juga tidak menjalani inisiasi menyusui dini (IMD) usai dilahirkan pada 2004 silam.
 
"Dulu waktu anak pertama saya melahirkannya di dukun. Saya tak mengerti IMD atau ASI. Waktu habis melahirkan ASI saya belum keluar, anak saya diberi nasi," kata Junari yang memiliki 3 buah hati ini.
 
Pemberian nasi dikarenakan anggapan bayi menangis karena lapar, sehingga harus secepatnya diberi makan. Alih-alih ASI, putra sulung yang diberi nama Ardiansyah Putra, justru mendapat nasi.
 
Selain pemberian nasi, ASI pertama yang keluar dari payudara Junari juga harus dibuang. Tindakan ini dilatari keyakinan ASI pertama kotor dan amis, karena warnanya yang kekuningan. Akibatnya ASI pertama dianggap berkualitas buruk dan harus terus dibuang hingga warnanya putih, seperti susu umumnya.
 
Padahal, warna kekuningan diakibatkan kandungan kolostrum pada ASI. Kolostrum inilah yang menjadi kandungan khas ASI dan tidak ditemui pada asupan lain, seperti nasi atau susu formula. Kolostrum berguna dalam pembentukan sistem daya tahan tubuh (imun) bayi, sehingga tidak mudah sakit karena infeksi karena virus, bakteri, atau organisme lainnya.
 
"Dulu saya tidak tahu ASI berguna untuk pembentukan kekebalan tubuh bayi. Saya menjalankan apa yang diyakini orang tua sebelum saya. Sehingga anak pertama saya minum ASI sambil makan nasi," kata Junari. Akibatnya, anak pertama Junari tidak mendapat ASI eksklusif utuh.
 
Namun hal berbeda diterapkannya pada kelahiran putri kedua yang diberi nama Nurlaelatun. Putri yang lahir pada 2006 mendapat asupan ASI eksklusif selama 6 bulan, tanpa konsumsi selingan apapun. Setelah itu dilanjutkan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) sambil meneruskan ASI hingga usia 2 tahun. Sebelumnya Nurlaelatun menjalani IMD untuk merangsang produksi ASI ibunya
 
Dari dua anaknya, Junari melihat perbedaan yang dikarenakan konsumsi ASI saat bayi. "Anak saya yang kedua lebih sehat, sedangkan abangnya selalu kelihatan lemas dan mudah sakit. Keduanya juga bertinggi sama, padahal seharusnya anak pertama lebih tinggi dibanding anak kedua," kata Januri.
 
Bayi merupakan sasaran kedua yang harus diperhatikan di Provinsi Nusa Tenggara Barat setelah masalah gizi dan kematian ibu. Bayi yang tidak mendapat ASI tidak tumbuh dengan baik. Sayangnya, tidak semua ibu mengetahui dan bisa menerapkan pemberian ASI setiap hari.
 
"Setelah ibu sekarang saatnya bayi. Ada 4 program utama terkait pemenuhan gizi bayi yaitu IMD, ASI, MP-ASI, dan meneruskan ASI hingga 2 tahun. Program ini sendiri sampai 2015 dan melibatkan masyarakat" kata Community Development Officer Plan Indonesia, Nur Hasanah.
 
Pemberian ASI merupakan hal paling penting dalam pemenuhan gizi bayi di tahun pertama. Walau grafik kematian bayi menunjukan penurunan, namun program ini harus terus dilakukan dan dipertahankan. 
 
Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Dompu, angka kematian bayi pada 2011 tercatat 29 kasus dari 5.008 kelahiran hidup (KH). Tahun 2012 jumlahnya menjadi 54 kasus dari 4.896 KH, dengan angka kematian bayi (AKB) 11,0 per 1000 KH. Sampai Oktober 2013 jumlah kematian bayi menjadi 20 kasus dari 4.238 KH, dengan AKB 4,7 per 1000 KH.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com