Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/11/2013, 17:07 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis

KOMPAS.com — Kasus dr Ayu membuka wawasan masyarakat Indonesia yang kerap menggunakan jasa dokter. Dari kasus ini, masyarakat belajar membedakan kasus malapraktik atau bukan. Dengan bersikap lebih aktif terhadap diagnosis dokter, lebih aktif saat menerima pengobatan, juga aktif mencari pengetahuan mengenai kesehatan, pasien bisa meminimalisasi risiko malapraktik.

Kasus malapraktik pada dasarnya adalah tindakan di luar prosedur operasi standar (SOP), yang sudah ditetapkan rumah sakit dan peraturan kedokteran. Tindakan ini kemudian menimbulkan kerugian, baik bagi pasien maupun dokter yang melakukan.

"Tindakan yang termasuk malapraktik misalnya permintaan suntik mati, walau diminta pasien. Seorang dokter harus menghormati suatu kehidupan," kata mantan Ketua PB-IDI, Prijo Sidipratomo, saat dihubungi Kompas Health, Jumat (28/11/2013).

Meski bukan tindak malapraktik, bukan berarti praktik tersebut selalu memberikan hasil sesuai keinginan pasien. Prijo mengatakan, dalam kenyataannya, risiko kematian atau ketidakberhasilan pengobatan akan terus membayangi. Risiko ini terus ada, kendati pengobatan sudah dilakukan sesuai rencana dengan tingkat keberhasilan yang bisa diperkirakan.

"Tindakan dikatakan malapraktik bila tidak dilakukan sesuai SOP yang ada sehingga kematian tidak bisa diindikasikan sebagai malapraktik. Tindakan malapraktik tentu sangat merugikan pasien," terang Prijo.

Sayangnya, masyarakat umumnya kerap tidak menyadari tindak malapraktik yang terjadi, apalagi bila dampak yang timbul tidak segera dirasakan. Padahal, tindak inilah yang merugikan pasien karena mencederai haknya dalam menerima pengobatan.

Untuk menghindari terjadinya malapraktik, berikut beberapa tipsnya:
1. Mencari second opinion
"Masyarakat tidak boleh ragu mencari pendapat dari dokter lain, baik dari bidang ilmu yang sama maupun berbeda. Dengan second opinion, masyarakat bisa berpikir dan menimbang dari berbagai sudut pandang," kata Prijo.

Second opinion juga memperluas pengetahuan masyarakat atas penyakit yang diderita. Dengan demikian, masyarakat tidak pasif dan pasrah menerima pengobatan yang diberikan.

2. Memiliki dokter keluarga
Dokter keluarga umumnya mengetahui dengan detail sejarah kesehatan seseorang. Dokter ini juga mengetahui bila ada riwayat alergi atau kekhasan pada reaksi tubuh.

"Dokter keluarga bisa berfungsi (memberi) second opinion, yang mengetahui bagaimana reaksi tubuh atas pengobatan yang diberikan. Masyarakat bisa meminta pertimbangan kepada dokter keluarga, terkait proses pengobatan yang dijalani," terang Prijo.

3. Cari tahu tindak pengobatan yang dilakukan.
Seiring perkembangan teknologi yang semakin maju, pengetahuan masyarakat terkait pengobatan tentu harus bertambah. Pasrah tidak boleh lagi dilakukan bila masyarakat masih menginginkan kesembuhan.        

"Walau mungkin tidak mampu mempelajari dan tidak nyambung ketika diberi tahu tentang SOP, sedikitnya masyarakat harus tahu obat atau tindakan apa yang diterima. Dengan cara ini, masyarakat bisa melakukan tindak preventif, bila reaksi pengobatan tidak sesuai harapan," kata pengamat kesehatan masyarakat dari FKM UI, Rita Damayanti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau