Berdasarkan data kumulatif Kementerian Kesehatan dari tahun 1987 hingga September 2015, kasus HIV/AIDS tertinggi ada pada ibu rumah tangga, yaitu 9.096 kasus. Kemudian disusul tenaga non profesional atau karyawan dengan 8287 kasus, dan wiraswasta sebanyak 8.037 kasus.
Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes RI, Sigit Priohutomo mengatakan deteksi dini dengan melakukan tes merupakan langkah penting dalam pengendalian penyakit ini.
Masalahnya, banyak orang merasa dirinya tidak berisiko sehingga enggan melakukan tes. Contohnya, yaitu ibu rumah tangga (IRT). IRT bukan kelompok berisiko tinggi tertular HIV karena lebih sering berada di rumah, tidak menggunakan narkoba suntik, tidak menjadi penjaja seks maupun pembeli seks.
Tapi jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tertinggi justru pada kelompok ibu rumah tangga. Kebanyakan ibu rumah tangga tertular HIV saat berhubungan seksual dengan suaminya. Adapun suaminya terinfeksi HIV karena melakukan seks tidak aman dengan membeli seks atau menggunakan narkoba suntik.
"Sekarang tes HIV juga dilakukan ke populasi umum, seperti ibu rumah tangga dan ibu hamil. Bukan hanya kelompok berisiko tinggi," kata Sigit dalam diskusi di Gedung Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, Senin (30/11/2015).
Selain itu, stigma dan diskriminasi juga menjadi penyebab seseorang tak mau melakukan tes HIV. Jangankan pengobatan, untuk menjalani tes HIV pun takut dipandang negatif oleh masyarakat sekitar.
Untuk itu, Sigit mengajak siapa pun untuk melakukan tes HIV. Menurutnya, semakin banyak orang yang dites HIV, maka makin banyak kasus HIV yang diketahui. Dengan begitu, penularan pun bisa langsung dicegah.
ODHA pun dapat menjalani terapi ARV untuk bisa meningkatkan kualitas hidupnya. "Kita mengajak semua orang untuk mengetahui status HIV. Kalau sekarang ini dikasih tahu, dia enggak akan nularin ke orang lain. Persoalannya mereka belum tahu kalau HIV. Ayo kita bareng-bareng untuk melakukan tes. Siapa pun, deh," kata Sigit.