Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/01/2016, 16:00 WIB
Oleh M Zaid Wahyudi

Azusa Hara (21) membelai lembut rambut Arya (4) yang duduk manja di pangkuannya. Sesekali, ia menebalkan jambulnya. Tak lupa, gadis relawan asal Jepang itu mengajaknya berbincang, menanamkan sopan santun dan cita-cita bagi Arya.

Di rumah kecil bercat biru di kompleks prostitusi Tegalpanas, Desa Jatijajar, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, itu, Azusa dan sejumlah relawan Indonesia dari Indonesia International Work Camp (IIWC) berusaha membangun mimpi anak pekerja seks, mucikari, dan warga biasa yang tinggal di kompleks yang populer dengan sebutan GP (Gal Panas).

"Prostitusi di Jepang berada di hotel-hotel, bukan perkampungan seperti di Indonesia sehingga bebas dari anak-anak," kata Azusa yang sudah beberapa bulan jadi relawan di GP, Sabtu (12/12). IIWC ialah program kerelawanan yang dikembangkan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah, bekerja sama dengan lembaga relawan internasional.

Keberadaan anak-anak di kompleks prostitusi membuat mereka tumbuh "dewasa" sebelum waktunya. Di usia 7-8 tahun, mereka paham urusan ranjang orang dewasa. Lemahnya didikan dan pengawasan orangtua membuat mereka biasa berkata kasar dan jorok, tak kenal sopan santun.

"Bahkan, mengacungkan jari tengah dianggap keren," tutur Afifah, relawan IIWC yang juga mahasiswi Universitas PGRI Semarang.

Di Rumah Belajar IIWC itu, relawan mencoba mengajarkan kembali anak-anak itu tata krama, mulai dari mengucapkan maaf, terima kasih, atau minta tolong. Anak-anak dampingan yang berumur 4-16 tahun itu juga diajarkan berbagai pengetahuan umum, diajak berkesenian dengan pementasan kecil, dan dikenalkan dengan lingkungan melalui penanaman mangrove.

Pendidikan formal bagi anak- anak di kompleks prostitusi juga menghadapi masalah rumit. Sebagian besar mereka putus sekolah, baik karena tempat kerja orangtuanya yang berpindah-pindah, malu karena hinaan teman akibat rumah mereka di kompleks prostitusi, tak punya dokumen kependudukan, maupun sulit mendaftar sekolah.

Upaya relawan menyejahterakan anak-anak di kompleks prostitusi itu tak mudah. Mereka butuh 2 tahun untuk membiasakan anak-anak mengucapkan terima kasih, minimal di lingkungan rumah belajar. Mereka harus menembus lika-liku birokrasi dan ketatnya aturan administrasi kependudukan hingga sebagian anak akhirnya mendapat akta kelahiran.

Tantangan yang harus dihadapi relawan dalam bekerja pun tak mudah. Relawan asing itu umumnya tak bisa berbahasa Indonesia sehingga harus didampingi relawan Indonesia agar komunikasi dengan anak-anak lancar. Selain itu, relawan harus siap menghadapi godaan laki-laki iseng di kompleks prostitusi itu yang mengajak mereka berkaraoke.

Anak pasar

Usaha relawan membantu mengangkat harkat anak-anak terpinggirkan juga dilakukan relawan PKBI Jawa Tengah yang bertugas di Rumah Pintar Bangjo di kawasan Pasar Johar, Kota Semarang.

Meski sikap permisif mereka pada seks tak seterbuka anak-anak di kompleks prostitusi, mereka juga menghadapi kerasnya hidup sejak kecil.

Di usia balita, mereka sudah mengemis. Menginjak remaja, mengamen jadi pilihan. Menghirup uap lem jadi pelarian. Kata-kata kasar dan jorok bagaikan alunan lagu yang diputar berulang tiap hari. Pasar, jalan raya, dan angkutan umum jadi "taman bermain" mereka.

Pendidikan ialah prioritas buncit dalam hidup mereka. "Sebagian anak dieksploitasi orangtua untuk mencari uang bagi keluarga," kata Koordinator Rumah Belajar Bangjo Vivi Maryati.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com