Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Meneladan Mariana Yunita, Menyingkap Tabu Seksualitas, Melindungi Remaja

KUPANG, KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 tak menyurutkan semangat Mariana Yunita Hendriyani Opat, 28, untuk tetap menjangkau anak-anak dan remaja dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Tak habis akal, ketika wabah menuntut siapa saja harus menjaga jarak, perempuan yang lebih akrab disapa Tata Yunita ini lantas memanfaatkan media sosial (medsos) untuk kembali menggelar Bacarita Kespro.

Mulanya, Tata bersama rekan-rekannya di Youth Community Tenggara hanya mengalihkan penyelenggaraan program edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi tersebut dari tatap muka langsung ke grup WhatsApp (WA).

Tapi, berjalannya waktu, dengan maksud menjangkau kalangan lebih luas dan menciptakan peluang diskusi yang lebih interaktif, dia dan Tenggara kemudian mengadakan kegiatan Bacarita Kespro lewat siaran langsung Instagram @tenggarantt.

Bagi Tata, pandemi hanyalah tantangan baru yang harus dihadapi dan ditaklukkan.

Sudah ada banyak persoalan lain yang lebih dulu datang dan berhasil dia lewati dalam upayanya mengedukasi anak-anak dan remaja tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Beberapa masalah itu bahkan telah menghadang sejak awal dirinya mulai mendirikan komunitas Tenggara bersama kawannya, Gery Pratama pada 30 Agustus 2016.

Misalnya saja, Tata sempat mengalami kesulitan untuk bisa mendapatkan sukarelawan anak muda yang bersedia diajak turun ke lapangan.

Hal itu diduga terjadi tidak terlepas dari rendahnya kesadaran muda mudi akan pentingnya pendidikan seksual saat itu.

Begitu juga ketika Tata mulai menjangkau anak-anak dan remaja di beberapa daerah di NTT. Kehadirannya sempat diremehkan oleh para orangtua atau pendamping komunitas.

"Pada awalnya kami menemukan banyak orangtua maupun pendamping masih memandang, 'memangnya penting ya ajar anak-anak soal seks?',” tutur Tata saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (23/12/2020).

Dia melihat pada waktu itu, pembicaraan ataupun pendidikan terkait kesehatan seksual dan reproduksi memang masih dianggap tabu atau tidak patut untuk diperbincangkan oleh masyarakat.

Beberapa orangtua maupun pendamping komunitas bahkan memandang pendidikan seks sama saja seperti mengajarkan pornografi.

Mereka beranggapan anak-anak akan mengetahui sendiri tentang seks apabila sudah besar dan dewasa.

“Orangtua atau pendamping masih bertanya, kaya, ‘Buat apa sih ajar anak cara cebok? Buat apa sih mengomong soal haid atau mimpi basah? Kenapa bahasnya pacaran?’," beber dia.

Mendapati persoalan seperti itu, Tata tentu tak mau menyerah.

Perempuan kelahiran Kiupukan, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT ini akan berupaya lebih keras untuk meyakinkan orangtua atau pendamping bahwa penting pemahaman akan kesehatan seksual dan reproduksi diberikan sejak dini kepada anak.

Dia pun bersyukur setelah dilakukan pendekatan lebih lanjut, hampir semua orangtua maupun pendamping yang ditemui Tenggara mau terbuka atau diajak bekerja sama.

Pendekatan yang dilakukan Tenggara, yakni bukan hanya menjelaskan secara personal kepada para orangtua atau pendamping tentang pentingnya pendidikan seks dan reproduksi sebelum diadakan Bacarita Kespro.

Tenggara juga kerap kali mengajak para orangtua dan pendamping untuk ikut serta dalam forum edukasi tersebut bersama anak-anak.

Pada beberapa kesempatan, Tenggara bahkan sempat membuat forum edukasi yang khusus diikuti oleh para orang tua.

Tata ingin mendorong para orangtua tak hanya paham akan pentingnya pendidikan seks dan reproduksi bagi anak-anak dan remaja, tapi juga terlibat aktif dalam melakukan edukasi masalah tersebut di rumah.

“Kami pokoknya tak mau gampang menyerah. Bagaimana pun juga, orangtua adalah pendidik utama dalam masalah seksualitas bagi anak-anak,” tutur dia.

Menurut Tata, ada banyak sekali manfaat yang bisa diraih ketika orangtua mau dan mampu memberikan pendidikan seks kepada anak.

Yang pasti, kata dia, orangtua bisa menjadi lebih dekat dengan anak. Jadi, apabila anak-anak punya masalah, orangtua lah yang akan dicari pertama kali untuk diajak bicara atau dimintai pendapat.

“Hal ini tentu baik untuk meminimalisir anak-anak mendapatkan tanggapan atau informasi yang salah dari luar,” ungkap dia.

Tata yakin, adanya komunikasi yang baik antara orangtua dan anak terkait masalah kesehatan reproduksi, lebih jauh, bisa menghindarkan anak-anak dari perilaku seksual yang berisiko ketika mereka mulai bergaul dengan teman-teman atau berada di lingkungan.

Bagi Tata, pendidikan seks sangatlah penting untuk dibicarakan di kalangan anak-anak dan remaja.

Dia mengutarakan, banyak orang mungkin melihat isu hak kesehatan dan reproduksi adalah isu yang sederhana sekali.

Tapi, menurut Tata, isu ini punya dampak yang cukup besar dan cukup penting untuk anak-anak di kehidupan sekarang maupun selanjutnya.

Sebagai gambaran, dia menemukan banyak anak remaja tidak mendapatkan pemahaman dari orangtua di rumah terkait dengan bagaimana mereka harus mempersiapkan diri ketika menghadapi pubertas.

“Ketika kami buka sharing di sejumlah tempat, ternyata banyak adik-adik mengaku kaget ketika mengetahui menstruasi ada darah. Terus yang laki-laki bingung, bangun tidur kok kaya ngompol,” tutur dia.

Tata bahkan pernah menemukan ada beberapa anak remaja yang sudah melakukan aktivitas seperti masturbasi maupun menggesekkan alat kelamin dengan pasangan (petting) tanpa banyak tahu risikonya.

Di sinilah, menurut dia, pemberian informasi atau edukasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi penting untuk anak-anak dan remaja guna mengenalkan tubuh mereka.

“Setelah mengenal, adik-adik diharapkan bisa menjaga tubuhnya. Nah, ini bisa berdampak terus sampai adik-adik misalnya tahu harus menjaga diri ketika ada orang tidak dikenal mau sentuh tubuh mereka,” jelas Tata.

Jadi, pendidikan seks bisa membantu anak-anak dan remaja untuk mengerti perubahan fisik yang terjadi selama pubertas dan mengajarkan bagaimana merawat tubuh, termasuk memahami consent (persetujuan) dan mencegah kekerasan seksual.

Tak hanya itu, Tata mengungkap, pendidikan seks penting diberikan agar anak remaja dapat menyikapi mitos dan kesalahan informasi seputar kespro, mengatur hubungan, perubahan emosional, dan sosial, serta menghindari hal-hal terkait dengan risiko perilaku seks, seperti hamil di luar nikah, dan mencegah penyakit menular seksual (PMS) maupun HIV/AIDS.

“Itu mengapa juga pendidikan seks bisa dibilang sebagai cikal bakal pendidikan berkeluarga yang memiliki makna sangat penting,” tutur dia.

Tata bersama Tenggara sendiri pernah melakukan survei soal tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja di NTT pada 2017.

Hasilnya, dia menyebut, sebagian besar dari 500-an remaja yang dimintai pandangan diketahui tidak memiliki akses terhadap sumber informasi pendidikan seksual dan komunitas untuk menceritakan persoalan pendidikan seksual.

“Kami melihat angka ini sejalan dengan kasus pelecehan seksual yang masih kerap terjadi atau kehamilan luar nikah di kalangan remaja di NTT,” kata Tata.

Empat tahun silam, Tata mantap mendirikan Tenggara setelah melihat belum adanya komunitas yang dibentuk oleh remaja dan untuk remaja yang fokus pada isu hak kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya di Kota Kupang.

Dia berharap Tenggara dapat menjadi pusat informasi dan layanan terkait isu hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Dari keinginan itulah, program Bacarita Kespro kemudian dilahirkan.

Bacarita diambil dari bahasa Melayu Kupang yang berarti bercerita. Sedangkan Kespro adalah singkatan kesehatan reproduksi. Jadi, Bacarita Kespro adalah kegiatan bercerita tentang kesehatan repdoduksi.

Baik sebelum maupun saat Pandemi Covid-19, Bacarita Kespro biasanya diadakan Tenggara setiap Sabtu, meski tidak menutup kemungkinan bisa dilakukan pada hari lain.

Tata menyampaikan, dalam menjalankan program edukasi ini, Tenggara memiliki sasaran kunci.

Target utamanya adalah remaja berusia 10 sampai 24 tahun yang berasal dari kelompok poor (miskin), marginal (terpinggirkan), social excluded (dikeluarkan dari lingkungan sosial), dan underserved (tak terlayani) atau disingkat PMSEU.

Mengapa demikian? Tata melihat, dari tahun ke tahun, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang hadir di Kupang sudah mulai merambah dunia sekolah untuk berbagai isu kesehatan seksual dan repdosuksi.

Sementara, remaja yang tidak bersekolah, remaja yang putus sekolah, remaja yang dikeluarkan karena hamil di luar nikah, remaja yang aktif di komunitas di luar sekolah maupun remaja di tempat ibadah dirasa belum banyak yang mendapatkan informasi terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi.

“Maka dari itu, Tenggara mantap memilih untuk fokus berbagi pada remaja PMSEU,” tutur Tata.

Bukan hanya remaja, anak-anak kemudian dijadikan teman Bacarita Kespro karena maraknya kasus pelecahan seksual yang terjadi di berbagai daerah di NTT.

“Saya sendiri pernah mengalami pelecehan seksual saat kecil dan pada saat itu saya enggak bilang ke orangtua karena memang tidak tahu cara menjelaskannya bagaimana. Saya bahkan tidak tahu perlakuan yang saya terima saat itu adalah betuk pelecehan. Jadi, saya tidak mau ada korban lagi,” jelas dia.

Demi bisa bertemu langsung anak-anak dan remaja, Tata pun rela menjelajah ke desa-desa, berbagai kota, dan bahkan menyeberang laut menyambangi pulau-pulau di sekitar NTT.

Tidak jarang, dia bahkan rela mengeluarkan uang pribadi-bukan kas Tenggara- untuk bisa pergi ke berbagai daerah.

Ketika sudah berhasil menemui remaja, Tata akan mengajak mereka berdiskusi banyak hal tentang hak kesehatan seksual dan produksi, seperti soal kehidupan remaja, pacaran yang sehat, mencegah kehamilan, pubertas, haid, mimpi basah, dan lain sebagainya.

Sementara, anak kecil mendapatkan metode khusus tentang mengenal tubuh. Tata biasanya akan menggunakan alat peraga untuk menjelaskan hal itu ke anak-anak.

Dalam memberikan edukasi, Tata dan sukarelawan lain di Tenggara memang sering kali akan lebih menyiapkan beragam atribut pembelajaran.

Selain boneka untuk menunjukkan anatomi tubuh, beberapa alat peraga yang kerap dipakai Tata dan teman-temanya, yakni permainan ular tangga edukasi dari bahan spanduk dan kertas tebak mitos atau fakta seputar seks.

“Kami ingin membawakan informasi terkait kesehatan reproduksi ini dengan cara yang semenarik mungkin dan ‘dekat’ dengan adik-adik. Komunikasi yang berjalan harus dua arah,” jelas dia.

Selain menyiapkan alat peraga, Tata bercerita, sebelum melakukan edukasi, sukarelawan Tenggara biasanya akan lebih dulu mengumpulkan data mengenai latar belakang anak-anak dan remaja yang akan ditemui.

Hal ini dilakukan karena Tenggara tidak mau asal memberikan informasi. Edukasi yang disajikan Tenggara harus kontekstual dengan masalah ataupun budaya yang berkembang di lingkungan masing-masing anak atau remaja.

“Jadi kami memetakan masalahnya dulu. Kami ingin informasi yang diberikan betul-betul yang dibutuhkan oleh adik-adik dan jangan sampai salah bicara,” tutur alumnus kedokteran hewan Universitas Nusa Cendana itu.

Tak hanya itu, Tata juga memberikan standar kualitas bagi sukarelawan Tenggara yang hendak menjadi fasilitator dalam Bacarita Kespro.

Di mana, siapa saja harus bersedia mempersiapkan diri sejak seminggu sebelum kegiatan, seperti wajib membaca modul dan berlatih manajemen forum agar bisa membawakan materi dengan baik untuk adik-adik.

Dia menyampaikan, ketentuan ini sebenarnya hanya untuk penyegaran.

Pasalnya, menurut dia, para sukarelawan Tenggara dari awal bergabung sudah sering kali dibekali dengan beragam pelatihan yang diisi oleh senior maupun dengan mengundang pemateri ahli, seperti dari dokter, psikolog, perwakilan Komisi Penanggulangan AIDS (KPAI), dan LSM-LSM terkait.

Bahkan, pengurus Tenggara beberapa kali sempat mengundang mantan pekerja seks komersial (PSK) atau penyintas HIV/AIDS untuk dapat memberikan gambaran secara riil mengenai kasus-kasus yang terjadi dalam kesehatan seksual dan reproduksi kepada anggota.

Selain itu, Tenggara juga kerap mendelegasikan 20 anggota secara bergiliran untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak luar, seperti dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, maupun organisasi atau komunitas lain.

“Sebelum mendirikan Tenggara, saya juga demikian. Awalnya saya coba mengumpulkan uang untuk bisa beli sejumlah buku sebagai sumber referensi. Kemudian, saya cari-cari kesempatan untuk bisa ikut pelatihan-pelatihan Kespro,” kenang dia.

Berjalannya waktu, program Bacarita Kespro yang digagas Tata bersama rekan-rekannya di Tenggara mampu merangkul semakin banyak anak-anak dan remaja di NTT.

Hingga 2019, sedikitnya sudah ada 2.000-an anak dan remaja di 43 komunitas di wilayah NTT yang mendapatkan akses informasi dari Tenggara.

Jangkauan ini mencakup Kota Kupang, Desa Oesao di Kabupaten Kupang, Desa Neke di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Pulau Kera di Kabupaten Sumba Timur bersama Kopernik.

Beberapa komunitas yang pernah digandeng Tenggara di antaranya, yakni Komunitas Tuli Kupang, Komunitas Children See Children Do, PAR Benyamin Oebufu Kupang, Persatuan Tuna Daksa Kristiani, Rumah Sejuta Mimpi, Remaja Gereja di Neke Timor Tengah Selatan, dan Komunitas Dusun Flabomora.

Untuk memperluas akses edukasi pendidikan seksual dan reproduksi di NTT, Tenggara telah berkolaborasi dengan BKKBN, KPAI, dan Woman for Indonesia.

Kegiatan edukasi Bacarita Kespro juga sudah mendapat dukungan dari International Youth Alliance for Family Planning (IYAFP), termasuk beberapa kolaborasi dari lembaga internasional lainnya.

Oleh karena itu, Tata bersama rekannya-rekannya di Tenggara kini tidak jarang diundang pula untuk berbagai informasi mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi di sekolah-sekolah, kampus-kampus, atau komunitas di luar PMSEU lainnya.

Perjuangan Tata yang tak kenal lelah dalam memberikan edukasi hak kesehatan seksual anak ini pun dilirik oleh juri dalam pemilihan penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2020.

Oktober 2020, Mariana Yunita Hendriyani Opat akhirnya terpilih sebagai penerima apresiasi SATU Indonesia Award untuk bidang kesehatan.

“Saya tentu tidak menyangka bisa terpilih untuk mendapatkan penghargaan ini. Karena saya merasa apa yang saya lakukan ini merupakan hal yang memang harus saya kerjakan,” tanggap Tata.

Dia berharap melalui apresiasi SATU Indonesia Award ini bisa menginspirasi para pemuda untuk mau terjun mengedukasi adik-adik dari kalangan anak-anak dan remaja tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Melalui pengalamannya, Tata meyakini bahwa pendidikan seks yang diberikan sejak dini dapat membantu anak-anak menyiapkan masa depan dengan lebih baik.

Apresiasi kepada Tata juga disampaikan oleh Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi alias Kak Seto.

Doktor psikologi anak dari Universitas Indonesia (UI) itu menganggap, kehadiran pemuda aktif seperti Tata sangatlah penting di masyarakat.

Kak Seto menyebut Tata bisa menjadi pelapis atau bahkan pengganti pentingnya peran orangtua dalam memberikan edukasi tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi kepada anak-anak.

Karena tak bisa dipungkiri, kata dia, di Indonesia masih ada banyak orang tua yang tidak mau atau mampu menjelaskan masalah seksualitas kepada anak-anak, terutama dari kalangan menengah ke bawah.

Pendiri dan ketua pertama Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) itu juga melihat sekolah kadang-kadang hanya teoritis dalam memberikan pendidikan seks.

"Jadi, sebagai langkah preventif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak atau anak sebagai pelaku, saya kira bagus sekali apa yang dilakukan Tata dan teman-teman di Tenggara dengan memberikan kesadaraan atau pengetahuan ke anak mengenai masalah seksualitas," kata dia saat diwawancara Kompas.com via telepon, Kamis (26/12/2020).

Kak Seto pun berpendapat, bahwa perjuangan Tata di NTT sangat layak dijadikan teladan bagi muda-mudi lain di berbagai daerah.

Para dewasa muda bisa menjadi kakak yang dapat memberikan benteng perlindungan bagi anak-anak maupun remaja akan bahaya pelecehan atau kekerasan seksual yang masih banyak terjadi di berbagai tempat.

"Bisa menjadi sangat efektif ketika pendidikan seks disampaikan oleh teman-teman muda. Jadi tidak sebagai bapak atau ibu ke anak. Kadang-kadang 'jurangnya' terlalu dalam karena perbedaan generasi," ungkap dia.

Kak Seto menuturkan, jika edukasi mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi dilakukan oleh seseorang yang usianya tidak terpaut jauh, anak-anak maupun para remaja bisa jadi akan lebih nyaman dan lebih mudah menerima informasi.

"Remaja kan inginnya komunikasi melalui persahabatan, bukan main instruksi, perintah, atau komando yang mungkin masih sering dilakukan para orang tua,” jelas dia.

Kak Seto sangat mengapresiasi para pemuda yang mau bergerak menyisihkan waktu, pikiran, tenaga, maupun materi untuk memberikan pendidikan seks kepada anak-anak dan remaja.

Tapi, dia berpesan, alangkah baiknya bagi komunitas anak muda ini jangan pernah berjalan sendiri.

Kak Seto menyarankan komunitas untuk tetap berkoordinasi dengan pemerintah setempat atau bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang berkompeten terkait isu hak kesehatan seksual dan reproduksi anak dan remaja.

Di sisi lain, Kak Seto berharap ada inisiatif yang bisa dilakukan oleh pemerintah maupun pihak-pihak terkait lebih dulu untuk mendukung gerakan mulia anak-anak muda tersebut.

“Backup paling bagus adalah dari pemerintah, apakah itu dari Dinas Kesehatan setempat atau langsung dari BKKBN,” kata dia.

Selain itu, backup juga perlu atau penting diberikan oleh sejumlah lembaga yang sangat kredibel, seperti dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), hingga Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).

Sementara itu, Kak Seto tetap meminta kepada para orangtua untuk dapat memberikan pendidikan seks kepada anak dengan baik.

Para orangtua sebaiknya menjadi orang pertama bagi anak sebagai sumber informasi soal pendidikan seks yang tepat.

Lagi pula, menurut dia, pendidikan seks akan lebih baik jika tidak dilakukan terlalu massal. Pasalnya, tingkat interpretasi setiap anak bisa berbeda-beda, sehingga orangtua sangat berperan dalam memberikan pendidikan seks kepada anak.

Kak Seto menjelaskan, pendidikan seks usia dini dapat dimulai sejak anak berusia 2,5-3 tahun.

Pada usia tersebut, anak-anak biasanya mulai memegang organ intimnya atau sudah mulai penasaran dengan kondisi tubuhnya.

Dia memandang, hal pertama yang perlu ditanamkan dalam pendidikan seks kepada anak adalah adanya identitas seks yang jelas sebagai laki-laki seperti ayah atau perempuan seperti ibu.

Langkah pertama yang bisa dilakukan, yakni menjelaskan secara detail kepada anak, jenis kelamin serta nama organ intimnya dengan sebutan yang benar.

Orangtua tak perlu sungkan penyebut penis atau vagina karena memang begitu seharusnya.

“Karena salah satu kendala dalam perkembangan psikoseksual adalah kaburnya identitas seksual, sehingga muncul berbagai macam LGBT atau penyimpangan perilaku seks,” terang dia.

Setelah itu, anak-anak penting untuk diajarkan cara menjaga organ tubuhnya, mulai dari bibir, dada, alat kelamin, sampai pantat.

Ditekankan kepada anak, bahwa bagian-bagian intim tersebut tak boleh ada yang sembarangan bisa menyentuh atau memegang. Begitu juga tidak boleh disalahgunakan.

Latih juga anak-anak untuk menjaga kebersihan dan kesehatan organ intimnya, seperti membilas dengan air saat buang air kecil, memakai sabun saat buang air besar (BAB), hingga ganti pakaian dalam secara teratur.

“Setelah itu orang tua bisa mulai mengembangkan pola perilaku anak yang umum sesuai jenis kelamin masing-masing,” jelas dia.

Kak Seto menegaskan bahwa pengenalan akan organ tubuh yang berhubungan dengan seks perlu dijelaskan sebaik mungkin oleh orangtua sama seperti ketika menerangkan organ lain pada tubuh.

Sebab, menurut dia, hal itu penting dan tidak harus dianggap tabu demi memberi pengetahuan yang benar dan jelas kepada anak.

“Anak-anak harus menjadi garda terdepan untuk melindungi dirinya sendiri. Mereka juga perlu diajarkan untuk berteriak atau melapor apabila ada yang ingin meraba organ intimya. Ini penting hingga anak dewasa,” jelas dia.

Senada, Koordinator Fasilitasi Kesehatan Reproduksi Keluarga BKKBN, dr. Popy Irawati, menilai pendidikan seks penting diberikan kepada anak-anak dan remaja untuk menghindarkan beragam masalah di kemudian hari, seperti kekerasan seksual, kehamilan tidak diinginkan, penyakit menular seksual, aborsi, HIV/AIDS, dan pernikahan dini. Edukasi tersebut dapat dilakukan oleh para pemuda.

“Remaja ini menjadi fokus perhatian penting karena jumlahnya juga banyak. Tercacat, 1 dari 4 penduduk Indonesia adalah penduduk dengan usia 10-24 tahun,” tutur dia.

dr. Popy mengatakan, pernikahan dini sendiri bisa menyebabkan beragam masalah lain yang dialami remaja, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRD), kematian ibu saat melahirkan, kesehatan reproduksi yang buruk, drop out, depresi, termasuk bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan berisiko terkena stunting.

Sementara, dia menyampaikan data, bahwa angka kelahiran menurut umur (ASFR) 15-19 tahun (muda) di Indonesia belum juga menunjukkan penurunan yang signifikan.

Berdasarkan Surveri Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, angka ASFR 15-19 tahun mencapai 51. Artinya, terdapat 51 bayi yang dilahirkan oleh 1.000 wanita usia 15-19 tahun pada saat itu.

Sementara, menurut SDKI 2012, angkanya hanya berubah menjadi 48. 

Angka tersebut masih jauh dari target ASFR 16-19 tahun yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019, yakni 38 kelahiran per 1.000 wanita.

https://health.kompas.com/read/2020/12/25/080400168/meneladan-mariana-yunita-menyingkap-tabu-seksualitas-melindungi-remaja

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke