Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemberian ASI Menuntut Peran Laki-laki

Kompas.com - 22/12/2009, 08:16 WIB

Bagi Bene, menjadi kader posyandu awalnya sangat sulit. Tidak ada ibu-ibu di Desa Halimodok, tempatnya tinggal, yang percaya kepadanya. Bukan hanya karena Bene berjenis kelamin laki-laki, tetapi juga karena ia dianggap masih kecil, baru 16 tahun saat itu. Meski tidak dipercaya, setiap bulan Bene tetap berkeliling desa mengajak kaum ibu datang ke posyandu. Banyak yang menolak dengan alasan harus ke ladang dari pagi hingga sore hari.

”Saya tetap tunggu di posyandu sampai jam 11. Sedikit yang datang, tetapi itu dulu. Sekarang sudah banyak yang datang,” kata Bene yang sudah lima kali mengikuti pelatihan mengenai kesehatan ibu dan anak.

Mali juga hanya ingin membantu posyandu agar kaum ibu fokus memberi ASI saja kepada anaknya sampai enam bulan. Mali geregetan setiap kali melihat kaum ibu yang memberi makanan atau minuman kepada bayinya yang baru berusia empat bulan. ”Orangtua sudah kasih makan bubur atau minum air putih. Ini salah satu yang jadi pengaruh anak gizi buruk,” kata Mali.

Kurang gizi

Khusus untuk di Belu, materi pelatihan yang disampaikan lebih fokus pada pentingnya ASI, fungsi ASI, dan kerugian susu formula. Pemberian ASI eksklusif 0-6 bulan dan pemberian makanan tambahan pada anak kurang dari dua tahun terbukti dapat mengurangi kematian anak balita. Communication Specialist Unicef Indonesia Lely Djuhari mengatakan, sejak tahun 2007 dinas kesehatan provinsi dan kabupaten, Kemitraan Australia dan Indonesia, serta Unicef mengampanyekan ASI eksklusif sebagai program minim biaya dan dampak tinggi dalam menangani masalah kurang gizi di NTT.

Prevalensi bayi gizi kurang di Kabupaten Belu merupakan salah satu yang tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2007, prevalensi kurang gizi kronis (stunting atau tubuh pendek) di Belu mencapai 43,4 persen.

Di NTT, prevalensi bayi gizi buruk mencapai 9,4 persen atau lebih tinggi dari angka nasional yang hanya 5,4 persen. Adapun prevalensi bayi gizi kurang di NTT mencapai 24,2 persen atau lebih tinggi dari prevalensi nasional yang hanya 24,2 persen.

”Sejak ada pelatihan ASI tahun 2007, masyarakat sudah tahu harus menyusui sampai enam bulan. Anak kurang gizi mulai berkurang. Apalagi setelah ada pengetahuan tentang inisiasi menyusui dini. Sekarang setiap kali ada bayi baru lahir langsung inisiasi menyusui dini, terutama yang melahirkan di puskesmas,” kata Rambu, bidan Puskesmas Wedomu, Desa Manleten.

Namun, lebih dari itu, pemberian ASI eksklusif sulit terwujud jika tidak disertai kesadaran suami. Suami mestinya jangan membiarkan istrinya ke ladang ketika bayinya belum berumur enam bulan. Dengan demikian, bayi bisa mendapatkan ASI eksklusif dan kasus gizi buruk bisa ditekan. (Luki Aulia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com