Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Panjang ke Saintifikasi

Kompas.com - 14/01/2010, 06:56 WIB

Sekalipun telah lama hadir di tengah masyarakat, kenyataannya jamu masih berada di pinggiran sistem pelayanan kesehatan. Tidak seperti di China, Korea, Jepang, dan India, pengobatan di Tanah Air masih didominasi terapi konvensional. Di China telah ada terapi integratif (konvensional dan herbal).

Peneliti bidang Kimia Organik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Leonardus Broto Sugeng Kardono, mengatakan, sekalipun jamu sudah lama ada, inventarisasi, pendokumentasian, dan pengembangannya relatif lambat dibandingkan negara-negara lain. Pada masa lalu, pembuatan jamu diturunkan secara lisan. Padahal, potensi Indonesia sangat besar. Setidaknya ada 30.000 tanaman berpotensi obat. Sebanyak 3.000 di antaranya sudah tercatat dan sekitar 300 bahan sudah umum digunakan, contohnya kunyit, jahe, temulawak, pegagan, dan sambiloto.

Menurut Ketua Umum Ikatan Dokter Herbal Medik Indonesia Hardhi Pranata, para dokter terbentuk cara pandangnya dengan standar medis konvensional. Walaupun terapi preventif, promotif, rehabilitatif, kuratif, dan paliatif sebetulnya dapat dikembangkan, termasuk menggunakan jamu asal dengan standar ilmu pelayanan serta keamanan yang tinggi.

Jamu juga mempunyai potensi pasar cukup besar. Ketua Asosiasi Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia sekaligus Presiden Direktur Jamu Nyonya Meneer, Charles Saerang mengatakan, penjualan obat herbal di Indonesia tahun 2010 ditargetkan Rp 10 triliun. Realisasi tahun 2009, yaitu sebesar Rp 8,5 triliun. Terdapat 240– 400 jenis jamu yang diedarkan di dalam negeri dan 80 jenis di antaranya juga diekspor ke Taiwan, Hongkong, dan Arab Saudi.

Saintifikasi jamu

Guna memasyarakatkan jamu tradisional, pemerintah berupaya menyaintifikasi jamu dengan melibatkan para dokter. ”Dokter menjadi ikon kesehatan yang dapat mengangkat harkat jamu dan penggunaannya,” ujarnya.

Program saintifikasi dicanangkan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Rabu (6/1).

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Agus Purwandianto mengatakan, saintifikasi itu memberikan landasan ilmiah penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan. Sejumlah dokter terlatih melakukan penelitian kualitatif terkait penggunaan jamu dalam cakupan upaya preventif, promotif, rehabilitatif, dan paliatif oleh pasien mereka.

Bahan herbal dipilih oleh Komisi Saintifikasi Jamu. Salah satu sumber ialah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional di Tawangmangu. Balai itu mempunyai 100 formularium yang telah uji praklinik.

Di samping Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia telah berdiri Juni 2009 dan telah diakui oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Perhimpunan itu juga menyiapkan kurikulum herbal bagi dokter yang tertarik masuk ke ranah itu dan diharapkan nantinya terbentuk klinik-klinik herbal.

Anggota Persatuan Dokter Herbal Medik Indonesia Cabang Jateng dr Lily Kresnowaty menuturkan, selain sebagai dokter konvensional, dokter ini nantinya juga memiliki keahlian menjadi dokter herbal.

Setelah dianggap kompeten, dokter tersebut dapat mengeluarkan resep jamu sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. ”Pedoman tersebut memuat jamu mana saja yang dapat digunakan untuk mendampingi obat konvensional,” katanya.

Saintifikasi jamu, kata Leonardus, menjadi penting di tengah pasar terbuka. Jangan sampai jamu Indonesia kalah pamor di tanahnya sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads

Copyright 2008 - 2023 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com