Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Alergi pada Anak

Kompas.com - 13/07/2010, 04:48 WIB

Oleh INDIRA PERMANASARI

Pada usia empat bulan, Tania (1,1 tahun) mulai mengalami gangguan. Saat itu, air susu Dita, sang ibu, berkurang sehingga diputuskan memberikan susu sapi. Namun, sepekan setelah pemberian susu tersebut, mendadak bermunculan semacam ruam di kulit, terutama di muka bayi.

Semakin hari, ruam bertambah banyak. Di kaki dan tangannya juga muncul bintik-bintik. Bayi rupanya merasa terganggu dan kerap rewel.

”Setelah diperiksa, menurut dokter, bayi saya alergi susu sapi dan disarankan mengganti susu dengan jenis hipoalergenik,” ujarnya. Sedangkan gangguan kulit di tangan dan kaki ternyata akibat alergi panas. ”Bayi biasanya dijemur untuk mendapatkan sinar matahari untuk pertumbuhan. Tania justru alergi dan sejak itu tak pernah dijemur lagi,” ujar Dita, warga Jakarta. Putri pertama Dita, Amel (7), menderita alergi debu. Dita sendiri mempunyai alergi debu, bahkan belakangan menjadi asma. ”Sepertinya turunan dari saya. Nenek mereka atau ibu saya juga alergi debu,” ujarnya. Keluarga itu memiliki dokter keluarga yang memahami rekam jejak kesehatan keluarga itu. ”Saya yakin alergi bisa ditangani,” ujarnya.

Memasuki usia setahun, dokter menyarankan susu yang dikonsumsi Tania dicampur susu sapi biasa. Setelah ruam benar-benar tidak muncul lagi, susu hipoalergenik ditinggalkan total. Untuk alergi debu dan panas, Dita menjauhkan pemicu tersebut dari anak-anaknya.

Kasus makin banyak

Alergi merupakan reaksi kekebalan tubuh yang menyimpang dari kondisi normal terhadap rangsangan atau zat dari luar tubuh dan bisa menimbulkan gejala yang merugikan tubuh. Gejala yang sering, antara lain, muntah, diare berlanjut yang kadang disertai darah, dermatitis atopik, seperti bintik-bintik merah dan gatal, gangguan pernapasan berupa batuk berulang dan asma. Jika dibiarkan, alergi akan mengganggu tumbuh kembang anak dan bisa lebih berat, seperti kena serangan asma.

Pada masa mendatang, jumlah anak-anak alergis, seperti Tania dan Amel, diprediksi semakin besar. Dokter anak dari Dr von Haunersches Kinderspital Ludwig-Maximilians University Munich, Sibylle Koletzko, mengatakan, ada peningkatan angka kejadian karena faktor genetik, lingkungan, dan imunologi (gangguan respons imun).

Semakin berkembang sebuah negara dan penyakit infeksi berkurang justru membuat kasus alergi meningkat. Faktor genetik tidak banyak berubah sehingga diperkirakan ada faktor-faktor penyebab lain. Alergi masih menyimpan banyak misteri. Salah satu dugaan ialah sistem kekebalan tubuh tak siap menghadapi hal dari luar yang dianggap sebagai ancaman. Bahkan, ancaman paling lemah, seperti serbuk sari. Kebersihan yang makin baik membuat tubuh semakin sensitif.

Tren itu sudah lebih dahulu dialami negara-negara Eropa. Alergi pada anak di Eropa Tengah cenderung meningkat. Pada 1973, asma bronkial 4 persen dan menjadi 21 persen pada 1996. Pola alergi bisa berbeda-beda antarnegara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com