Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Utang, Kurangi Makan, Bunuh Diri

Kompas.com - 07/01/2011, 04:43 WIB

SURABAYA, KOMPAS - Kenaikan harga bahan pokok dan kondisi ekonomi yang tidak menentu semakin menekan rakyat. Agar bertahan hidup, sebagian penduduk terpaksa berutang atau mengurangi makan. Namun, ada pula yang mengambil jalan pintas dengan bunuh diri.

Kasus bunuh diri setidaknya menimpa pasangan suami-istri Maksum (35) dan Rohani (33), penduduk Desa Tanjunganom, Pesaleman, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (5/1) dini hari. Kedua buruh kebun tebu itu gantung diri dan ditemukan tewas oleh Tatun (14), anak sulung mereka, di ruang tengah rumah mereka yang sebenarnya sudah dijual tiga tahun silam.

Ketiga anak korban, yakni Tatun, Wusnama (9), dan Sanes (4), sejak kemarin diasuh oleh nenek mereka, Karmah (50). Menurut Karmah, desakan ekonomi diduga menjadi motif utama anak dan menantunya bunuh diri. Maksum sudah berkali-kali mengeluh tak bisa bertahan hidup karena beban ekonomi yang kian berat. ”Hasil kerjanya sebagai buruh tebu tak naik, hanya Rp 25.000 per hari. Padahal, harga kebutuhan pokok kian tinggi,” kata Karmah, ibu Maksum.

Bunuh diri juga dilakukan Samsul Fatah (20), pemuda dari Desa Soka, Kecamatan Poncowarno, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah (Jateng). Ia tewas setelah minum racun serangga, Selasa lalu. Jenazahnya dimakamkan hari Kamis. Ibu korban, Nikmatun, mengatakan, sejak suaminya, Susno, merantau kerja di luar Jawa setahun ini, Samsul menjadi tulang punggung keluarga. Sulung dari tujuh bersaudara itu jadi buruh tani dengan upah Rp 25.000 per hari. Diduga, Samsul nekat minum racun serangga karena tak sanggup menanggung beban menghidupi keluarganya.

Sebelumnya, enam bersaudara anak pasangan Jamhaid (45) dan Siti Sunayah (41) dari Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jateng, 1 Januari lalu, tewas keracunan setelah makan tiwul, makanan berbahan baku singkong. Musibah bermula dari kebiasaan keluarga membuat tiwul setiap kali keuangan mereka sangat terbatas.

Utang dan kurangi jatah

Untuk bertahan hidup, berutang kepada ”bank titil” (koperasi simpan pinjam) terpaksa dilakukan sejumlah orang di Surabaya. Cicilia Lestari (43) bergantung kepada bank titil karena pendapatan harian dari warung miliknya tak cukup untuk menjaga usahanya berdiri. Ia meminjam Rp 300.000 dan harus melunasi dalam 24 hari beserta bunganya. Setiap hari ia mencicil pinjaman Rp 15.000. ”Sudah tiga kali saya meminjam karena sulit bertahan hanya dengan pendapatan hasil warung,” ujar Cicilia, Kamis di Kenjeran, Surabaya.

Cicilia membuka warung nasi di kawasan Pantai Kenjeran dengan pendapatan harian Rp 15.000-Rp 70.000. Dengan merangkaknya harga barang pada awal tahun, pengeluaran belanja warung juga naik serta margin keuntungannya semakin kecil.

Siasat Sri Yanti (47) lain lagi. Agar warung nasinya tetap berjalan, ia mengurangi porsi nasi dan lauk yang dijual. Biasanya dengan Rp 6.000, pembeli bisa mendapat sepiring nasi dan dua potong ikan tongkol pindang. Kini hanya satu ikan pindang.Warung nasinya ikut terimbas kenaikan harga beras dan cabai.

Di Bojonegoro, Jatim, Suraji (54)—tukang becak—risau dengan melambungnya harga kebutuhan pokok. ”Kami tidak mungkin menaikkan tarif becak. Bisa-bisa malah tidak dapat penumpang. Ya kalau enggak narik, lalu apa yang dimakan anak dan istri saya?” kata Suraji.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com