Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak-anak Itu Hidup Kekurangan Gizi

Kompas.com - 15/04/2011, 08:57 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Namanya Salimatul Ichasanah. Bayi laki-laki ini sudah berusia dua tahun tiga bulan. Ia menderita gizi buruk. Beratnya hanya 7,8 kilogram. Bahkan, sebulan sebelumnya, berat badannya hanya 5 kilogram. Saat ayahnya, Saifulloh (30), berdiri sambil mendudukkan buah hatinya di depan dadanya, tampak kedua kaki Salimatul berayun layu.

”Kakaknya normal. Seperti anak balita (bawah lima tahun) lain. Usia setahun sudah mulai berdiri, merambat, dan akhirnya berjalan. Si bungsu sampai sekarang baru bisa tengkurap,” tutur ayah beranak dua itu saat ditemui di rumah kontrakan di sebuah gang di permukiman padat, Jalan Kali Sekretaris, Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat.

Menurut istrinya, Zubaedah (21), Salimatul baru lancar makan dan minum sepekan belakangan setelah tiga pekan di rawat di Rumah Sakit (RS) Tarakan, Jakarta Pusat.

”Dia menderita bronkitis kronis sampai enggak mau makan karena susah menelan. Akhirnya, dokter memasang selang di kedua hidungnya untuk saluran makanan lembut. Selama tiga pekan dia makan lewat hidung,” kata Zubaedah sambil mengambil Salimatul dari gendongan Saifulloh.

Hunian mereka di lantai dua hanya berupa bilik kayu berdinding tripleks berukuran 3 meter x 4 meter. Sinar matahari sulit masuk ke kamar yang selalu redup oleh lampu itu. Mereka adalah keluarga kurang mampu. Saifulloh bekerja serabutan, yakni dari membersihkan gorong-gorong dan kali, mengangkat sampah, menjadi kuli bangunan, kuli jalan, sampai membantu montir sepeda motor. ”Apa saja asal halal,” kata pria asal Cirebon ini.

Masih di kawasan rumah kontrakan itu, ada anak penderita gizi buruk lain, Bintang yang baru berusia 10 bulan. Menurut ibunya, Wulan (23), anaknya juga pernah dirawat di RS Tarakan pada 13 Februari karena radang usus dan paru-paru. ”Dokter RS bilang, anak saya kena gizi buruk. Selama dirawat, Bintang diinfus. Dia susah makan. Badannya lemas dan berwarna kebiruan,” ujarnya.

Tidak seperti Salimatul yang menyusu ibunya hingga usia dua tahun, Bintang hanya mendapat ASI selama sepekan. ”Setelah itu ASI saya kering. Entah mengapa,” ucap Wulan.

Setelah dirawat di RS, nafsu makan Bintang berangsur pulih meski semua makanan harus dihaluskan. ”Saya senang, cucu saya sudah lancar makannya. Makannya sayur-mayur, avokad, dan pepaya. Ya, semampu kamilah,” kata Nurhayati (52), nenek Bintang.

Di rumah kontrakan nan sempit itu, mereka hidup berlima. Pencari nafkah utamanya adalah Nurhayati. Ia berkeliling menjajakan makanan dari pukul 06.00 hingga pukul 14.00.

Wulan bekerja mencuci pakaian, sementara suami kuli bangunan. ”Paling seminggu cuma bekerja 2-3 hari. Tidak bisa diandalkan untuk hidup,” katanya.

Beberapa puluh meter dari tempat tinggal Wulan, tinggal Damar (1), anak balita yang juga bergizi buruk. Kata Siska Rani (27), ibunya, Damar juga baru saja dirawat di RS Tarakan setelah diare, demam tinggi, batuk-pilek tak henti. ”Waktu usianya 10 bulan, beratnya cuma 6 kilogram, sekarang sudah 7,6 kilogram,” ujarnya.

Istri ketua RT 15, Ani (47), mengatakan, ketiga anak balita bergizi buruk itu sudah mendapat bantuan dari puskesmas kelurahan berupa susu dan bubur kaleng. ”Begitu habis, tinggal memberi tahu kami saja. Nanti kami yang urus,” kata Ani.

Namun, bagi Salimatul, susu yang diberikan puskesmas kurang cocok, seperti disampaikan ayahnya, Saifulloh.

Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat Agung Sagung Parwanthi, dihubungi terpisah, mengatakan, umumnya anak balita bergizi buruk di Jakarta disertai penyakit. ”Jadi, penyakit lebih menjadi penyebab gizi buruk. Logika sederhananya, karena penyakit, si balita jadi susah makan dan lemas sehingga menderita gizi buruk,” ujarnya.

Hal itu untuk membedakan gizi buruk murni dan gizi buruk yang disertai penyakit.

Sebelumnya, Dewan Pembina Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi Zaenal Abidin, kepada wartawan, mengatakan, angka penderita gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Tahun 2010 jumlahnya mencapai 43.616. Pemerintah berniat menekan hingga 15,1 persen pada 2015. (WINDORO ADI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com