Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penggunaan Obat yang Rasional

Kompas.com - 31/05/2011, 10:59 WIB

Tentang mahalnya harga obat "jiplakan" yang tidak rasional, berlipat kali daripada harga obat generik padahal sebenarnya masa paten obat originator-nya sudah lewat, Iwan menjelaskan bahwa tingginya harga obat, khususnya untuk obat merek dagang, bukan merupakan isu yang begitu saja muncul di permukaan.

Obat telah menjadi komoditas ekonomi yang penetapan harganya diserahkan pada mekanisme pasar. "Pada situasi ini, obat telah kehilangan rohnya sebagai bagian dari hak individu untuk dapat sembuh dari penyakit atau memperpanjang usia karena kemampuan ekonomi seseorang menjadi kendala untuk mencapai tujuan tersebut," katanya.

Ditambahkan, berbedanya harga obat antarnegara dan antarpelayanan kesehatan di satu negara menunjukkan bahwa harga obat tidak sepenuhnya didasarkan pada harga pabrik semata, tetapi juga kompetisi tidak sehat yang terjadi di pasar.

Obat yang oleh suatu industri farmasi semula ditetapkan dengan harga yang jauh lebih murah dari kompetitornya akhirnya harus menyesuaikan (menaikkan harga) dengan hargar yang ditetapkan oleh industri farmasi yang telah terlebih dahulu memiliki brand image.

Sebagai contoh di Indonesia, harga siprofloksasin merek dagang (branded generic) yang patennya sudah habis tahun 2003 bervariasi mulai Rp 1.200 hingga lebih dari Rp 29.000, padahal siprofloksasin generik hanya Rp 345.

Bayangkan, harga obat generik bermerek ada yang hampir seratus kali lebih mahal dibandingkan obat generik biasa, padahal isi dan khasiatnya sama. Dan sebenarnya obat generik bermerek hanyalah ' jiplakan" obat originator yang dibuat dengan riset mahal.

Celakanya, masyarakat awam dan sebagian dokter justru sudah telanjur salah kaprah menganggap obat generik bermerek sebagai "obat paten". Padahal, mahalnya harga obat generik bermerek sama sekah tidak rasional. Absurd.

Di tengah belantara ribuan merek obat, mulai dari yang generik dan esensial hingga obat-obat merek dagang baik yang originator maupun obat generik bermerek, konsumen harus cerdas.

"Konsumen yang cerdas kalau perlu tak meminum obat walaupun diresepkan oleh dokter. Kalau diberi antibiotik, harus tanya ke dokter untuk apa. Tidak semua ke1uhan sakit seperti flu atau radang tenggorokan (faringitis) membutuhkan antibiotik. Kalau memang ada infeksi bakteri, bukan infeksi virus, dan harus diberi antibiotik, harus diminum sampai habis," ujar Prof Iwan.

Khusus untuk puyer yang biasanya diresepkan untuk bayi dan anak-anak, ia menyarankan sebaiknya orangtua menanyakan apa saja komponen obat di dalamnya. Jika ada antibiotik, mintalah untuk dikeluarkan dari racikan. Tentang polifarmasi, peresepan berbagai jenis obat sekaligus disarankan untuk diwaspadai dan tak bisa dianggap sepele.

"Tidak mustahil ada interaksi antarjenis obat yang justru akan merugikan pasien. Sebagai contoh, ada orang yang kemampuan untuk memetabolisme obat amat cepat, tapi ada juga orang yang kemampuan metabolismenya amat lambat. Kedua kelompok tersebut tidak begitu saja bisa diberikan obat dengan dosis yang sama. Pada kelompok metabolisme lambat, dosis beberapa jenis obat harus diturunkan karena dapat menimbulkan efek toksik. Di era personalized medicine, pemberian obat harus sangat mempertimbangkan faktor-faktor biologis individu agar obat yang diberikan tidak mencelakakan pasien" kata Prof Iwan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com