Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Segerobak Instruksi SBY

Kompas.com - 13/07/2011, 03:10 WIB

Kedua, sisi yang lebih substansial dan penting dalam kasus yang melilit Nazaruddin justru tak disentuh. Presiden Yudhoyono lebih heboh menanggapi SMS gelap dan kader Partai Demokrat lebih sibuk dengan isu-isu murahan, seperti soal Mr A, alasan sakit Nazaruddin, dan laporan pencemaran nama baik.

Fakta bahwa di satu sisi kesalahan Nazaruddin dianggap sangat fatal dan mempermalukan Partai Demokrat dan di sisi lain ia belum dipecat sebagai anggota partai dan masih menjadi anggota DPR dari Partai Demokrat adalah bukti kongkalikong ini. Bisa jadi akan ada asumsi yang berkembang di masyarakat bahwa pemecatan yang diundur-undur tersebut adalah upaya memelihara ruang barter politik. Kita tahu, dalam posisi bendahara, Nazaruddin sangat mengerti aliran dana, pemain dalam tubuh partai, dan bahkan pengusaha penyumbang partai.

Bagaimana dengan persoalan dana politik partai sekitar Rp 13 miliar yang berasal dari sumbangan Nazaruddin, seperti diungkapkan salah satu tokoh di dewan kehormatan partai tersebut? Persoalan-persoalan inti seperti tidak tersentuh dan terkesan sengaja dijauhkan dari pendengaran publik. Padahal, isu dana politik adalah salah satu inti masalah. Tidak mungkin sebuah partai politik bisa memberantas korupsi jika dana politik berasal dari korupsi.

Uang haram

Segerobak instruksi Presiden di atas akan semakin tidak berguna jika Presiden Yudhoyono tak melakukan hal luar biasa dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, sekaligus penguasa ”sebenarnya” di Partai Demokrat.

Isu dana politik dinilai sebagai fondasi utama yang harus dibenahi. Dalam jangka pendek, Partai Demokrat harus berani mengembalikan sumbangan Nazaruddin dan mendorong penerapan pembuktian terbalik tentang asal-usul sumbangan tersebut. Membuka kemungkinan audit independen terhadap dana politik dan kapan perlu mendeklarasikan kekayaan para pengurus utama partai patut dipertimbangkan secara serius.

Konsep di atas tentu saja tidak muncul tiba-tiba. Pasal 7 Ayat (2) Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) merekomendasikan pengaturan tentang transparansi dana politik dan Pasal 20 UNCAC tentang illicit enrichment atau keseimbangan antara kekayaan pejabat publik dan penghasilannya yang sah. Di beberapa negara, seperti Argentina dan Australia, hal ini diatur dalam konteks unexplained wealth.

UNCAC kita ratifikasi sejak tahun 2006, tepatnya dalam era pemerintahan Yudhoyono. Dengan demikian, menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi UNCAC pada lingkaran terdekat Yudhoyono akan menjadi salah satu alat ukur apakah Yudhoyono memang konsisten dalam pemberantasan korupsi. Ini sekaligus bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk penyelamatan kepemimpinan Yudhoyono yang kian rapuh.

KPK tentu saja tidak boleh terseret pada ”badai politik” Partai Demokrat ini. Fokus pada kasus suap wisma atlet, menelurusi aliran dana dan transaksi keuangan mencurigakan, menghentikan transaksi keuangan, serta menyita dan memblokir aset-aset Nazaruddin ataupun aset lain terkait dengan perkara ini dengan menggunakan UU Pencucian Uang adalah keharusan. Oleh karena itu, kita berharap KPK bekerja serius dan tidak ikut-ikutan mengumbar ”segerobak janji”.

Febri Diansyah Peneliti Indonesia Corruption Watch Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com