Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bank Darah Tali Pusat, Kemubaziran?

Kompas.com - 13/07/2011, 06:40 WIB

OLEH IRWAN JULIANTO

Darah tali pusat yang mengandung sel punca diklaim dapat menjadi ”asuransi” untuk menyembuhkan aneka penyakit di kemudian hari. Tak sedikit orangtua di Indonesia ”kepincut”. Apa bukan sebuah kemubaziran?

Sel punca atau stem cells sedang naik pamor. Diyakini menjadi tumpuan harapan bagi penyembuhan aneka penyakit, mulai dari leukemia, kerusakan jantung (infark miokard), hingga Alzheimer. Sel punca adalah sel cikal bakal bagi aneka jenis sel lain yang menyusun seluruh tubuh makhluk hidup.

Secara umum, sel punca dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu sel punca embrionik dan sel punca dewasa. Sel punca embrionik paling bagus karena memiliki sifat pluripoten atau mampu berdiferensiasi menjadi segala jenis sel yang ada dalam tubuh. Hanya sayangnya, karena masalah etika, sel punca embrionik dilarang digunakan untuk riset ataupun untuk terapi.

Harapan dunia kedokteran kini terpusat pada sel punca dewasa walaupun sifatnya multipoten atau hanya dapat dikembangkan menjadi beberapa jenis sel yang berbeda. Sel punca dewasa terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu sel punca hematopoetik dan sel punca mesenkimal.

Sel punca hematopoetik adalah sel-sel dalam sumsum tulang yang mampu membentuk seluruh jenis sel darah dalam tubuh manusia. Sementara sel punca mesenkimal ditemukan di seluruh tubuh, tetapi paling banyak ditemukan di sumsum tulang, darah tali pusat, dan jaringan adiposa, selain juga ditemukan pada darah tepi. Belakangan, tahun 2006, dua peneliti Jepang, Takahashi dan Yamanaka, berhasil menemukan teknik induksi pluripotensi sel punca dewasa.

Akan halnya sel punca mesenkimal yang didapat dari darah tali pusat, menurut para pakar seperti dikutip dalam buku Stem Cell - Dasar Teori & Aplikasi Klinis yang ditulis tim Kalbe Farma (2010), memiliki potensi proliferasi yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan sel punca mesenkimal dari sumsum tulang. Kendati hambatannya adalah sangat sulit melakukan isolasi sel punca mesenkimal dari darah tali pusat, tingkat keberhasilannya hanya 29-63 persen.

Karena sifat unggulnya itulah sel punca dari darah tali pusat makin menarik perhatian untuk diteliti dan digunakan bagi terapi berbagai jenis penyakit. Tahun 1988 untuk pertama kali di Perancis dilakukan terapi sel punca menggunakan darah tali pusat. Selama ini tali pusat dan plasenta biasanya cuma dibuang atau dikubur. Kini, daripada disia-siakan, darah yang berada di tali pusat dan plasenta yang kaya akan sel punca sejak tahun 2000 mulai disimpan untuk dua keperluan: untuk pengobatan penyakit darah seperti leukemia dan talasemia serta untuk cadangan bagi si bayi jika suatu saat nanti ia menjadi penderita penyakit degeneratif.

Apakah untuk tujuan yang terakhir itu realistis? Menurut perusahaan swasta yang menawarkan jasa sebagai bank darah tali pusat, seperti CordLife dari Singapura, menyimpan darah tali pusat dari sejak bayi hingga puluhan tahun adalah hal yang realistis. ”Ini seperti suatu asuransi kesehatan,” kata Dr Arvin C Faundo, Kepala Urusan Medis CordLife, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (7/7).

Namun, pendapat yang berseberangan dikemukakan oleh dr Djumhana SpPD, KHOM yang juga Ketua Umum Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI). ”Belum ada jaminan apakah darah tali pusat yang disimpan dalam nitrogen cair pada suhu minus 196 derajat celsius akan tetap bertahan baik dan dapat dikembangbiakkan setelah puluhan tahun. Harus ada asuransi jika itu disimpan dalam bank darah swasta,” katanya ketika dihubungi Kompas, Senin lalu.

Djumhana juga menyebutkan, statistik menunjukkan peluang penggunaan darah tali pusat yang disimpan untuk diri sendiri hanya 1:100.000. ”Jadi, peluangnya amat kecil. Karena itu, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama ini hanya memilih menggunakan sel punca dari sumsum tulang dan dari darah tepi,” ujarnya.

Menurut Djumhana, akan lebih baik jika bank darah tali pusat dikelola oleh pemerintah sehingga dapat digunakan oleh siapa saja di seluruh dunia. Hanya persoalannya, apakah pemerintah memiliki anggaran untuk itu. Beberapa negara seperti Italia menerapkan ketentuan darah tali pusat disimpan oleh bank darah pemerintah. Di Amerika Serikat, selain diurus oleh lembaga pemerintah, ada pula beberapa bank darah swasta yang menawarkan jasa penyimpanan.

CordLife, yang semula sejak 2004 merintis kerja sama dengan Kalbe Farma dan pada tahun 2006 resmi mendirikan bank darah tali pusat, sejak tahun lalu pecah kongsi. Kalbe, menurut sekretaris perusahaan, Vidjongtius, lebih ingin konsentrasi pada penjualan produk-produk kesehatan dan terapi, bukan kepada layanan bank sel punca.

Menurut Dr Faundo, hingga kini jumlah klien Indonesia yang menyimpan darah tali pusat di CordLife mencapai 4.000-5.000 orang. ”Sejauh ini belum ada satu pun yang digunakan,” katanya.

Ini membenarkan pernyataan dr Djumhana tadi bahwa peluang penggunaan darah tali pusat untuk keperluan sendiri di bank darah swasta seperti CordLife amat kecil, hanya 1:100.000. Ini senada pula dengan liputan kritis di ABC News tanggal 5 Mei 2010 oleh Dr Richard Besser dan lain-lain yang berjudul ”Private Umbilical Cord Blood Banking: Smart Parenting or Waste of Money?”.

Tentu tidak sama sekali kemubaziran karena ada saja peluang darah tali pusat yang Anda simpan berguna. Dr Faundo menyebut contoh, kliennya di India yang punya anak menderita talasemia mayor, setelah punya anak kedua yang normal, maka darah tali pusat anak yang normal ini ditransplantasikan ke sumsum tulang kakaknya. Dan kakaknya mengalami kesembuhan.

Pakar talasemia yang juga peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Dr Iswari Setianingsih, SpA menyatakan memang untuk talasemia paling baik jika donor dari saudara kandung sendiri. Hanya saja, jumlah darah tali pusat sering tak mencukupi, selain tingkat keberhasilannya hanya 60 persen. Di Italia dan Thailand, sel punca darah tali pusat dikombinasikan dengan sel punca dari sumsum tulang dan tingkat keberhasilannya menjadi lebih dari 90 persen untuk tingkat kelangsungan hidup 10 tahun.

Menurut dr Djumhana, sedikitnya jumlah darah dalam tali pusat plus plasenta juga menjadi kendala, apalagi jika badan penerima transplantasi beratnya puluhan kilogram. Selain itu, biaya transplantasi di sumsum tulang mencapai miliaran rupiah.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com