Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berbagi dan Saling Dukung untuk Hidup Lebih Baik

Kompas.com - 05/08/2011, 07:17 WIB

Oleh Reny Sri Ayu

Kalau Ina Damayanti (38) tak pernah mau bertemu dengan sesama orangtua yang anaknya menderita hemofilia, tentu hingga kini dia akan terus menutup diri, meratapi hemofilia yang diderita anaknya.

Atau kalau saja sejak dulu Ina mau berbagi dan mencari tahu, pasti ia akan tahu lebih banyak hingga M Arkhan Raka (11), putra keduanya, tak harus duduk di kursi roda seperti saat ini.

”Waktu itu saya takut terlalu banyak tahu dan akhirnya jadi stres sendiri. Setiap kali ke RSCM (Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo), saya cuma membawa Arkhan berobat, lalu pulang. Ternyata saya salah,” kisah Ina.

Hemofilia adalah penyakit kelainan pendarahan yang disebabkan tidak adanya atau berkurangnya salah satu faktor pembekuan darah dalam tubuh. Hemofilia umumnya diturunkan secara genetis. Biasanya, bila ayah menderita hemofilia, maka ada 50 persen peluang anak perempuannya menjadi pembawa hemofilia. Sebaliknya, jika ibu yang menderita hemofilia, ada 50 persen peluang anak lelakinya mengidap hemofilia. Tetapi, 30 persen hemofilia terjadi secara spontan atau hemofilia sporadis.

Ada dua jenis hemofilia, yakni hemofilia A di mana penderita mengalami kekurangan protein pembekuan darah yang dikenal dengan faktor VIII. Sekitar 85 persen penderita hemofilia mengidap hemofilia A. Lalu ada pula hemofilia B di mana penderita kekurangan faktor IX. Sekitar 15 persen dari penderita hemofilia mengidap hemofilia jenis ini.

Faktor pembekuan darah adalah protein dalam darah yang mengontrol pendarahan. Ketika pembuluh darah terluka, dinding pembuluh darah akan menciut lalu keping darah akan menutup luka pada pembuluh. Pada saat bersamaan, faktor pembeku darah akan bekerja membuat semacam jaring yang membentuk anyaman dan menutup luka hingga tidak terjadi pendarahan. Itu sebabnya mengapa penderita hemofilia rentan mengalami pendarahan, bahkan untuk luka kecil atau saat gigi susu jatuh. Tak hanya pendarahan luar, gerakan tubuh berlebih akan menyebabkan pendarahan dalam, terutama pada bagian sendi. Bahkan, bisa saja terjadi pendarahan dalam tanpa sebab apa pun.

Terlambat

Apa yang terjadi pada M Arkhan Raka, anak kedua Ina, adalah pendarahan dalam di bagian sendi lutut dan pergelangan kaki yang sudah parah dan membuat siswa kelas V SD Inpres V Karawang Barat ini harus duduk di kursi roda.

”Kalau saja saya tahu sejak dulu tentu saya akan operasi sejak dia masih kecil. Setidaknya saya melakukan pengobatan yang benar, saya akan melakukan profilaksis hingga keadaannya tidak terlalu parah. Sekarang, sepertinya sendinya sudah parah dan sulit dioperasi,” tutur Ina.

Ina menuturkan kisahnya di sela-sela acara The 3rd Asia Pasific Hemophilia Camp dan 13th Taiwan Hemophilia Camp yang berlangsung di Hsinchu, Taiwan, 15-18 Juli lalu. Acara ini berupa seminar tentang hemofilia, pengobatan, pencegahan, hingga berbagai permainan dan olah tubuh ringan yang bisa dilakukan penderita hemofilia.

Acara yang dipusatkan di Uni Resort, Mawudu, Hsinchu, Taiwan, ini diikuti peserta dari Indonesia, China, Malaysia, Thailand, dan tuan rumah Taiwan. Acara ini dilaksanakan oleh Bayer HealthCare dan Taiwan Hemophilia Society. Sebanyak 16 peserta dari Indonesia yang terdiri atas penderita dan orangtua mereka, dokter, pendamping, dan dua wartawan berangkat atas dukungan Bayer HealthCare, PT Bayer Indonesia.

Diakui ina, peristiwa tragis yang dialami anak pertamanya yang menderita hemofilia yang berujung kematian akibat pendarahan hebat seusai operasi, disusul vonis hemofilia pada anaknya yang kedua dan keempat, membuat dia amat terpukul. Trauma membuat Ina menutup diri hingga penanganan pada Arkhan tidak maksimal.

Beruntung Ina sadar akan kekeliruannya menyikapi hemofilia yang diderita dua anaknya. Ia pun mulai bergabung dengan Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) yang berkantor di RSCM. Bertemu sesama orangtua yang punya anak pengidap hemofilia membuat Ina sadar bahwa dia tidak sendiri. Berbagai kegiatan yang digelar HMHI tak dilewatinya tanpa mengikutkan Arkhan, termasuk pada lomba menggambar yang membawa Arkhan mengikuti 3rd Asia Pasific Hemophilia Camp di Hsinchu, Taiwan.

Forum Berbagi

Ajang Asia Pasific Hemophilia Camp jelas jadi wadah bertemu dan berbagi antarsesama penderita hemofilia dan orangtua mereka. Dalam sesi seminar, misalnya, dokter dan ahli hemofilia, perawat, hingga ahli gizi memberi banyak masukan dan tentu saja pengetahuan tentang berbagai hal yang perlu diketahui terkait hemofilia, serta perawatan dan pengobatannya.

Bahkan, ada sesi khusus di mana semua orangtua berkumpul dan bertemu dengan dokter dan ahli hemofilia, serta psikolog, untuk membahas peran penting orangtua mendampingi dan merawat anak yang menderita hemofilia. Ini juga menjadi ajang untuk saling menguatkan dan memahami bahwa tak ada yang sendiri menghadapi hemofilia.

Begitu pun dengan anak-anak yang menderita hemofilia. Mereka dipertemukan dalam berbagai kegiatan, permainan, hingga latihan untuk melakukan penyuntikan sendiri. Anak-anak ini juga diajarkan olah tubuh ringan dan berbagai permainan yang menyenangkan, yang tetap leluasa dilakukan tanpa khawatir terjadi pendarahan luar maupun dalam.

Dalam seminar terungkap betapa penting profilaksis untuk penanganan hemofilia. Sejauh ini ada dua jenis pengobatan hemofilia, yakni profilaksis yang bersifat pencegahan yang dilakukan secara rutin setiap pekan atau hitungan bulan, saat tak terjadi pendarahan. Lalu on demand, yakni pengobatan pada saat terjadi pendarahan atau pembengkakan sendi. Baik profilaksis maupun on demand, keduanya dilakukan dengan cara menyuntik faktor VIII.

Kualitas hidup

Pada awalnya, profilaksis atau on demand dilakukan dengan transfusi darah. Tapi ini menjadi mubazir mengingat yang diambil hanya faktor VIII-nya saja. Lalu berkembang dengan cryoprecipitate atau konsentrat murni faktor VIII yang diambil dari darah manusia.

”Tapi ada banyak kemungkinan di mana pengobatan dengan memasukkan darah bisa saja menyebabkan infeksi atau penolakan dan dampak lain, seperti tertular virus hepatitis, HIV, dan lainnya. Kemudian dunia kesehatan makin berkembang dan ditemukan apa yang disebut rekombinan faktor VIII. Dalam rekombinan, faktor VIII tidak murni diambil dari darah manusia, tapi ada penambahan bahan-bahan pengganti yang bisa berfungsi sebagai pembeku darah. Sampai saat ini belum ada laporan penularan virus dengan penggunaan rekombinan faktor VIII,” jelas drg Tiara Ratnawulan, Bagian Medikal Bayer HealthCare, PT Bayer Indonesia.

Berbeda dengan Thailand, Taiwan, dan China, misalnya, yang sudah lebih mendahulukan profilaksis ketimbang on demand, di Indonesia hemofilia masih lebih banyak ditangani dengan on demand. Artinya, penderita baru diobati saat terjadi pendarahan atau pembengkakan.

”Kami akui, di Indonesia penanganan hemofilia masih banyak dengan cara on demand. Padahal, dengan profilaksis kualitas hidup penderita hemofilia bisa lebih baik, bisa beraktivitas normal, dan kerusakan yang lebih parah bisa dicegah. Memang pengobatan hemofilia terbilang mahal dan tidak semua penderita mampu melakukan profilaksis. Sejauh ini on demand sudah masuk jamkesmas. Tapi kami terus berupaya mendorong pemerintah agar profilaksis bisa masuk dalam jamkesmas mengingat profilaksis dapat mencegah kerusakan lebih parah,” kata dr Novi Amelia Chozie, Divisi Hematologi, Onkologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas kedokteran, Universitas Indonesia-RSCM.

Mr Lin Hsu Ke, Ketua Perkumpulan Hemofilia Taiwan, mengatakan, dalam hemofilia, profilaksis menjadi penting untuk memperbaiki kualitas hidup karena fungsinya sebagai pencegahan. ”Tapi lebih penting lagi kerja sama dokter, pasien, dan keluarga. Semua harus saling mendukung dan menjadi satu kesatuan. Selain itu, kebijakan pemerintah. Di Taiwan, kebijakan dalam dunia kesehatan sangat mendukung penanganan hemofilia, termasuk profilaksis,” kata Lin.

Di Indonesia, tercatat jumlah penderita hemofilia sekitar 1.388 orang. Jumlah sesungguhnya diperkirakan jauh lebih banyak mengingat selama ini banyak orang tak menyadari jika menderita hemofilia. Pada masyarakat awam dan tidak punya pengetahuan tentang hemofilia, gejala lebam-lebam di tubuh, pembengkakan pada sendi, atau bahkan pendarahan kerap dianggap penyakit biasa, bahkan lebih parah dianggap santet. Di wilayah pelosok, keterbatasan alat juga membuat dokter kerap salah diagnosis.

”Karena itu, bila terjadi gejala seperti lebam, bengkak pada sendi, dan pendarahan sebisa mungkin melakukan tes untuk mengetahui apakah seseorang menderita hemofilia atau bukan, karena mengetahui lebih dini dan dilanjutkan dengan profilaksis bisa mencegah kerusakan yang lebih parah,” kata dr Novi.

Berbagi, saling dukung, dan tentu saja profilaksis bukan hanya akan membuat penderita bisa berdamai dengan hemofilia, melainkan juga akan membuat kualitas hidup lebih baik. Karena hemofilia bukan alasan untuk meratapi hidup dan tidak melakukan apa-apa....

(Ren)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com