Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Segera Siapkan Hak Menyatakan Pendapat

Kompas.com - 19/09/2011, 01:52 WIB

Jakarta, Kompas - DPR perlu segera mengeluarkan hak menyatakan pendapat terkait kasus Century. Rekomendasi tim pengawas DPR dan hasil audit forensik BPK juga dilengkapi substansi dalam gugatan mantan pengendali Bank Century, Rafat Ali Rizvi, di pengadilan arbitrase internasional.

Hal ini mengemuka dalam diskusi ”Mungkinkah Membongkar Skandal Century Melalui Jalan Politik, Hak Menyatakan Pendapat DPR” di Jakarta, Minggu (18/9). Diskusi yang diselenggarakan aktivis Petisi 28 ini menghadirkan anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Susatyo; anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura, Akbar Faisal; mantan anggota Fraksi PKS DPR, Misbakhun; Menteri Keuangan tahun 1998 Fuad Bawazier; dan praktisi Ahmad Suryono.

Fuad Bawazier menilai kasus Century sebagai perampokan uang negara. Dalam kasus ini, terkait pula Boediono yang saat itu Gubernur Bank Indonesia. Rekam jejak Boediono, kata Fuad, menunjukkan keterkaitan dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang memunculkan penyimpangan penggunaan dana BLBI.

Seperti juga kasus BLBI, lanjut Fuad, pengucuran dana talangan (bail out) Bank Century diikuti peraturan pengganti undang-undang jaring pengaman sosial. Juga terasa janggal ketika KPK seakan membela Boediono dan Sri Mulyani dengan tidak menemukan bukti adanya tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dalam pengusutannya.

”Solusinya jelas, hak menyatakan pendapat. DPR juga bukan hanya lembaga politik, tetapi juga lembaga hukum sehingga DPR tidak perlu takut,” kata Fuad.

Akbar Faisal juga kecewa kepada KPK yang hanya meneliti delapan poin dari 14 poin yang direkomendasikan tim pengawas Century di DPR. Dia menilai ada upaya KPK untuk mengaburkan kasus ini. Semestinya, data-data yang ada diuji silang di KPK.

”KPK bukan tidak bisa, tetapi tidak mau membongkar kasus ini,” ujar Akbar.

Penyimpangan dalam kasus Century, menurut Misbakhun, mudah ditelusuri. Pasalnya, pengendali Bank Century, Rafat Ali Rizvi dan Hesham al Waraq, tidak pernah meminta fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) yang berbuntut pencairan dana talangan senilai Rp 6,7 triliun.

”Hesham dan Rafat hanya meminta repo (reposisi) aset dengan plafon Rp 1 triliun. Itu pun dengan mekanisme swasta. Anehnya lagi, akta notaris ditandatangani 15 November pukul 02.00, tapi FPJP dicairkan 14 November pukul 20.43,” ujarnya.

Masalahnya, kata Misbakhun, penegakan hukum atas pencairan dana talangan Rp 6,7 triliun ini berhenti di satu titik. KPK, kepolisian, dan kejaksaan tidak memproses. Karena itu, DPR harus meneruskan proses ini melalui hak menyatakan pendapat atau ini akan menjadi preseden buruk bagi politik Indonesia.

Bambang Susatyo khawatir, kemungkinan DPR tidak mengajukan hak menyatakan pendapat. Isu penggantian menteri yang umumnya diisi pimpinan partai politik dinilai sebagai alat tawar pemerintah supaya DPR tidak mengajukan hak menyatakan pendapat. (ina)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com