Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asmat, Kaya Tapi Tertinggal

Kompas.com - 02/11/2011, 08:22 WIB

Tidak heran penyakit dengan gejala batuk yang biasa mereka sebut "hosa" ini melanda. Ini karena rumah yang mereka tinggali merupakan tempat tinggal yang jauh dari layak. Satu ruangan rumah seukuran rata-rata lima kali enam tanpa sekat bersatu dengan tungku yang selalu mengepulkan asap.

Selain untuk melindungi diri dari nyamuk, tungku yang biasanya berbahan bakar kayu ini juga berguna untuk menjaga tubuh mereka dari hawa dingin yang biasa menyusup di malam hari. Masih ditambah lagi dengan kebiasaan merokok, tak hanya di antara para lelaki, tetapi juga para wanitanya.

Selain itu tentu saja penyakit seperti malaria menjadi hal yang umum ditemui. AIDS dan HIV agak sulit diketahui karena tidak adanya data yang sahih untuk itu. Selain karena mereka malas untuk melaporkan dirinya, pengetahuan tentang penyakit ini juga sangat minim. Rasanya jumlah penderita bisa jadi jauh di atas yang kita perkirakan.

Satu hal lagi yang paling memprihatinkan adalah penyakit cacingan yang melanda sebagian besar anak serta angka kematian anak yang bisa mencapai rata-rata 50 persen dalam satu keluarga. Karena itu tim KBKK juga membagikan obat cacing dan memaksa setiap anak meminumnya pada saat itu juga ketika menemui anak usia 2 hingga 10 tahun.

Cacingan yang ditandai dengan perut buncit yang akhirnya menggiring pada kondisi kekurangan gizi ini nyaris bisa ditemui di hampir setiap anak di pedalaman karena pola hidup, lingkungan yang tidak higienis, perilaku hidup bersih dan sehat yang jauh dari layak. Selain tidak mengenal cuci tangan, anak-anak ini sudah terbiasa bermain di lumpur, sungai, dan konsumsi makanan yang jauh dari gizi seimbang dan sempurna. Maka, perut buncit pantat tepos lah yang biasa kita temui di sana.

Dalam satu keluarga yang biasanya berjumlah besar, dari beberapa jumlah anak yang dilahirkan, separuhnya bisa diperkirakan meninggal. Ada keluarga yang dengan anak delapan, tinggal empat anaknya. Ada juga yang beranak sebelas, tinggal lima. Yang lainnya beranak sepuluh tinggal lima. Kenyataan itu serasa menjadi hal biasa. Selain tiadanya dokter, pengetahuan yang minim tentang kesehatan dan perilaku melahirkan yang tidak sehat dan aman lagi-lagi menjadi faktor penyebabnya.

Yah, begitulah kondisi mengenaskan di wilayah pedalaman Papua. Tak heran bila kedatangan kami yang terdiri dari para tim dokter dan paramedis serta beberapa orang yang peduli dengan mereka menjadi penyejuk. Tentu saja banyak yang memanfaatkan kesempatan ini untuk memeriksakan dirinya saat gelaran pengobatan dibuka. Tak kurang dari dua ratus pengunjung di tiap kampung menyambangi kami.

Wilayah yang kaya sumber alamnya dengan pemandangan alam yang begitu indahnya bagaikan surga seolah masih jauh dari peradaban meski sudah berpuluh-puluh tahun bergabung dengan Indonesia. Kita patut prihatin melihatnya. (Abdi Susanto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com