OLEH IRWAN JULIANTO
Tak dapat disangkal demam berdarah dengue penyakit endemik di Indonesia. Pengasapan dan penggunaan larvasida terbukti kurang efektif. Ada upaya mengendalikan nyamuk penular virus dengue menggunakan bakteri Wolbachia. Peneliti Australia terbukti berhasil. Sebuah harapan untuk Indonesia.
Pada musim penghujan seperti sekarang ini, jumlah kasus kesakitan karena DBD di Indonesia dapat dipastikan meningkat. Beberapa rumah sakit swasta di Jakarta dikabarkan sampai kewalahan menampung pasien
DBD menjangkiti sekitar 50 juta orang setiap tahun di lebih 100 negara di seluruh dunia. Selain dapat menyebabkan penderitanya mengalami kesakitan serius, tak sedikit pula yang berakibat fatal. Biaya untuk rawat inap cukup tinggi sehingga menjadi beban di negara-negara di kawasan tropis seperti Indonesia.
Virus dengue ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti. Berbagai upaya menekan atau membasmi populasi nyamuk Aedes aegypti sejauh ini terbukti kurang efektif. Kita sudah akrab dengan pengasapan (fogging), membersihkan sarang nyamuk, dan penggunaan larvasida untuk membunuh larva atau jentik nyamuk seperti abate. Selain abate, masih ada juga beberapa jenis larvasida lain yang lebih mahal.
Sebuah proyek percontohan pemberantasan DBD di kota Yogyakarta yang didanai oleh Yayasan Tahija, yayasan filantrofi yang didirikan oleh keluarga almarhum Julius Tahija, yang berlangsung sejak tahun 2004 hingga 2010, terbukti kurang mendatangkan hasil yang memuaskan. Padahal, dana yang dihabiskan yayasan ini tak kurang dari 4,3 juta dollar AS. Kegiatan itu melibatkan hampir 300 tenaga lapangan untuk memantau jentik nyamuk.
Tingkat kejadian penularan DBD di Kota Yogyakarta pada rentang 2007-2010 memang sempat menurun, tetapi kurang signifikan. Salah satu penyebabnya, Kota Yogyakarta dikelilingi hunian yang padat penduduk yang langsung berimpitan, yaitu Sleman dan Bantul. Percuma saja memberantas nyamuk di Kota Yogyakarta, sementara nyamuk Aedes aegypti tetap bebas berkeliaran di kedua wilayah itu.
”Terbukti mustahil untuk mengontrol DBD dengan hanya menjadikan jentik nyamuk Aedes aegypti sebagai target,” tutur dr Sjakon G Tahija, pembina Yayasan Tahija. Dokter ahli mata menyatakan, dana sebesar hampir Rp 40 miliar yang dihabiskan untuk pengendalian DBD di Yogyakarta itu bisa dipakai untuk membiayai 72.000 operasi katarak atau 14.300 beasiswa untuk pendidikan dasar.
”Betapa pun, itu bukan suatu kesia-siaan dan kemubaziran. Karena dari pengalaman di Yogya, Indonesia dan negara-negara di seluruh dunia dapat memetik pelajaran penting menghamburkan miliaran dollar AS untuk pengendalian DBD yang tak efektif,” kata dr Sjakon pula. Ia pernah mempresentasikan pengalaman pengendalian jentik nyamuk Aedes yang dilakukan Yayasan Tahija di Yogyakarta dalam sebuah konferensi internasional di Philadelphia, Amerika Serikat.
Pertama di dunia