JAKARTA,KOMPAS.com - Tatalaksana pengobatan Tuberkulosis (TB) yang tidak sesuai standar dan masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang TB diduga menjadi penyebab utama meningkatnya kasus TB MDR (multi drug resistant) baru.
Demikian disampaikan Kepala Sub Direktorat Pengendalian Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Dyah Erti Mustikawati dalam media workshop di Jakarta, Senin, (27/2/2012).
"Banyak kasus TB yang belum dilakukan dengan tatalaksana yang benar. Selama ini, pasien mempunyai persepsi kalau bayar pengobatan semakin mahal maka bisa sembuh, tapi untuk TB itu tidak berlaku," katanya.
Dyah mengatakan bahwa layanan TB cukup kompleks dan membutuhkan keahlian serta keterampilan khusus. Layanan TB yang tidak standar tidak akan menyembuhkan pasien tetapi kemungkinan memicu terjadinya TB MDR.
TB MDR adalah kondisi dimana pasien resistan terhadap obat anti tuberkulosis yang paling poten yakni INH dan Rifampicin secara bersama-sama atau disertai resisten terhadap obat anti TB lini pertama (ethambutol, streptomycin, dan pirazinamide).
"Setiap pasien yang telah didiagnosis TB MDR harus diobati dengan tuntas di sarana pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan pengobatan TB MDR secara standar," katanya.
Dyah mengungkapkan bahwa saat ini banyak rumah sakit, klinik swasta dan dokter yang melakukan pengobatan terhadap pasien yang diduga TB MDR dengan menggunakan rejimen yang tidak standar dengan menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama dan lini kedua yang dijual bebas di pasaran.
Dyah menambahkan, TB MDR ataupun TB XDR (extensively drug resistant) dapat menyebabkan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Oleh karena itu harus dicegah dengan cara melaksanakan tatalaksana pasien TB yang berkualitas dengan startegi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse).
"Angka insidensi TB MDR di Indonesia sekitar 2 persen atau 6.100 kasus per tahun," ucapnya.
Ulah Manusia
Sementara itu, dr. Arifin Nawas, Sp P(K), spesialis paru dari RSUP Persahabatan mengutarakan bahwa TB MDR adalah masalah ulah manusia. Masalah ini dapat memakan banyak biaya, jiwa, daya dan merupakan ancaman utama terhadap strategi penanggulangan TB yang saat ini sedang berjalan.