Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berubah Warna Kulit, Dua Perempuan Ini Dikucilkan

Kompas.com - 24/03/2012, 13:40 WIB

PAMEKASAN, KOMPAS.com-  Apsani (55) warga Dusun Lembana Timur, Desa Kaduara Barat, Kecamatan Larangan dan Maisudah (45) warga Desa Kertagena Laok, Kecamatan Kadur, Pamekasan, Jawa Timur, dikucilkan oleh warga lainnya akibat penyakit kulit yang dideritanya.

Seluruh kulit Apsani kini berubah menjadi putih dan warna kulit asli yang tersisa hanya di bagian wajah di bawah kedua matanya. Sementara perubahan yang dialami Maisudah baru tampak di bagian kaki. Tangan dan bibirnya yang sudah mengalami perubahan warna.

Apsani mengaku sudah menderita penyakit itu sudah 10 tahun, sedangkan Maisudah baru delapan bulan. Gejala penyakit yang dialami kedua perempuan itu awalnya sama, yakni demam tinggi, sekujur tubuh sakit dan kulitnya seperti ada bintik-bintik putih yang mau menetas.

"Waktu itu demam yang saya alami sampai tiga hari dan saya tidak bangun dari tempat tidur," cerita Apsani, saat ditemui di rumahnya, Sabtu (23/03/2012).

Setelah tiga hari, baru keluar bintik-bintik putih yang jumlahnya hanya bisa dihitung jari tangan disertai dengan rasa gatal yang berkepanjangan. Lama kelamaan, bintik-bintik putih itu terus menyebar menggerogoti warna kulit kedua perempuan yang tidak ada hubungan darah itu.

"Saya dibawa periksa ke dokter sama anak saya. Namun kata dokter waktu itu hanya infeksi kulit biasa," kata Apsani.

Obat yang diberi dokter tidak membawa perubahan berarti buat Apsani, sehingga ia memilih tidak berobat dan membiarkan penyakit itu terus menggerogoti seluruh tubuhnya hingga seluruh warna kulitnya berubah total selama 10 tahun.

Sedangkan Maisudah mengalami nasib lebih memilukan. Ia sama sekali tidak bisa berobat ke dokter karena sudah 3 tahun ditinggal suami yang menikah dengan perempuan lain.

"Tidak ada uang untuk berobat. Hidup saya hanya menjadi kuli tani yang dibayar Rp. 8.000, setengah hari. Saya ditinggal suami karena penyakit ini," katanya lirih.

Bagi kedua perempuan ini, penyakitnya itu sudah menjadi beban hidupnya. Sebab masyarakat enggan untuk berinteraksi langsung dengannya.

"Masyarakat merasa jijik jika berkumpul dengan saya. Sehingga ketika ada acara apa-apa, saya diasingkan dan tidak pernah diajak berkumpul," ungkap Maisudah.

Keduanya sadar jika masyarakat tidak menghendakinya. Sehingga keduanya memilih hanya berdiam di rumahnya. "Biarlah masyarakat yang tidak mau dengan saya tidak usah berkumpul. Sebab penyakit ini bukan kehendak saya," ujar Maisudah.

Namun, kedua perempuan ini masih memiliki harapan untuk sembuh dari penyakitnya. Terutama Maisudah yang kondisinya masih belum parah. "Setiap orang pasti ingin sembuh dari penyakit. Namun jika tidak punya biaya, harus ke mana saya mencarinya," terangnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau