Tiga tahun lalu, kami membicarakan ini dengan anak-anak kami pada suatu pagi. Mereka sedang sarapan. Saat itu ditangan Mamanya anak-anak ada harian KOMPAS. Isi beritanya mengenai beberapa siswa SMU yang tidak ikut UASBN. Di satu kota kecil saja jumlahnya 16 orang. Penyebabnya adalah kehamilan di luar nikah.
”Kalau hubungan seksual dilakukan di luar pernikahan, tidak ada komitmen dan tanggung jawab di dalamnya,” ujar istri. ”Itu perilaku sembarangan. Makanya Tuhan melindungi perempuan dan laki-laki dalam pernikahan. Orang yang siap menikah akan punya tanggung jawab dan komitmen. Kami punya kalian, dua remaja pria. Kalian cerdas, ganteng, dan menyenangkan. Kalian jangan berlaku sembarangan pada teman perempuan. Mama kalian perempuan, lho!” kata Wita.
”Ah, teman-teman perempuanku nakal-nakal semua!” kata Moze yang saat itu masih 11 tahun. Dia membawa piring dan gelasnya ke dapur.
”Kalau aku sih suka ngata-ngatain,” sambut Abangnya berusia 15 tahun. Kamipun tertawa, sambil berteriak ”Ayo jangan terlambat sekolah!”
Walaupun nampaknya kami membicarakan soal ini sambil lalu, kami ingin menggunakan setiap moment dalam hidup kami untuk membagikan hal-hal penting mengenai pernikahan pada anak-anak kami. Mereka tidak mungkin memahaminya hanya dalam sekali percakapan. Diperlukan pengulangan-pengulangan, sampai mereka menjadikannya sebuah nilai hidup.
Hal lain yang perlu dipahami oleh remaja yang berkaitan dengan hubungan seks pranikah adalah bahaya penyakit menular seksual (PMS). Kebanyakan remaja putri menguatirkan aspek kehamilannya. Padahal, ini lebih berbahaya. Beberapa penyakit tidak segera terlihat.
Ada yang membutuhkan waktu 15-20 tahun untuk ketahuan; dan kalau selama itu si penderita melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berbeda-beda, dia sudah menulari semua pasangan seksnya. Setelah akhirnya remaja ini menjadi pemuda dan menikah baik-baik, ternyata pasangan ini tidak bisa punya anak. Bisa jadi, itu akibat hubungan seksual pranikah yang pernah dilakukannya saat remaja.
Di luar pernikahan, laki-laki, setelah menanamkan benihnya dalam rahim perempuan, tidak bisa dituntut bertanggung jawab. Mereka boleh pergi begitu saja. Kalau terjadi kehamilan biasanya pihak perempuan yang ribut menuntut pernikahan. Tapi pernikahan yang dipaksakan seperti ini, umumnya tidak berakhir baik.
Perempuan (mungkin pasangannya juga) akan merasa bersalah. Kalau dia hamil, dia harus memelihara janinnya (kalau digugurkan dia bisa dituntut membunuh), kemudian dia melahirkan dengan kesakitan. Dia juga yang merawat bayinya atau memberikan anaknya diadopsi. Bayangkan kalau tidak ada suami yang mendampinginya. Apalagi kalau harus melahirkan di tempat penampungan, karena orangtua tidak dapat menerima kehamilan anaknya. Betapa merana dan menderita keadaan seperti ini!
Kalau Terlanjur