Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Puas dengan Menjadi "Rata-rata"

Kompas.com - 21/05/2012, 12:24 WIB

KOMPAS.com - Kita sering terjebak dalam rutinitas hidup dan pekerjaan, sehingga apa yang kita lakukan dan apa yang kita upayakan, kerap tidak sempat kita evaluasi. Saat mendengar berita kecelakaan pesawat, di mana mungkin ada teman atau sahabat kita di dalamnya, atau menerima kabar duka yang memberitakan salah satu sahabat atau kerabat tutup usia, tak jarang kita shock dan baru merasa punya waktu untuk berhenti sejenak, mendapatkan insights dan merefleksikan betapa berharganya kehidupan yang kita jalani.

Kita sesungguhnya sangat sadar bahwa hidup kita memang sudah ada takarannya dan suatu saat memang akan berhenti. Pertanyaannya, seberapa sering kita memikirkan pentingnya kualitas hidup yang ingin kita jalani? Apakah kita sungguh-sungguh menjalani hidup dan pekerjaan yang meaningful? Apakah kita sempat mengecek bahwa kita tidak sekadar mengejar karier dan uang, tetapi juga mengisi aspek kehidupan lain, baik itu emosional, membangun hubungan antar manusia dengan baik, serta mengembangkan aspek spiritual dalam hidup?

Beberapa teman, bila sedang berdiskusi seputar masalah kualitas kehidupan, kadang berkomentar: “Kalau sudah sibuk ‘cari makan’ mana sempat memikirkan kualitas hidup lagi?” Ya, kita semua bisa merasakan betapa kehidupan makin kompleks, krisis datang silih berganti, tantangan untuk mencapai target kerja terus ada di depan mata, sehingga seolah kita tidak punya waktu atau energi untuk melakukan hal-hal lain yang ingin kita lakukan.

Namun, apakah semua situasi itu akan menghalangi kita bersikeras untuk menjadi “a better person”? Mungkinkah kita membiarkan diri kita melepas standar kualitas hidup dan menjalani kehidupan kita dengan “pasrah” atau biasa-biasa saja? Pada akhirnya, kita akan bertanya pada diri sendiri: “Apakah sebagai manusia kita sudah berbuat optimal, mendalam, otentik, dan berenerji? Apakah kita punya kemauan kuat untuk “jadi  yang terbaik” dalam kehidupan kita yang hanya satu-satunya ini?

Melihat gaya hidup teman atau kerabat yang tutup usia secara tiba-tiba, kita bisa belajar bahwa hidup memang perlu didesain. Hidup seperti apa yang ingin kita jalani? Bagaimana kita ingin dikenang oleh orang saat kita tiada? “Warisan” apa yang ingin kita tinggalkan? Legenda macam apa yang akan tinggalkan?

Olah pribadi
Kita sering melihat banyak orang mengambil posisi “tengah” alias posisi “aman”. Mereka tidak berusaha memperjuangkan ide dan pendapatnya kuat-kuat, namun lebih memilih untuk menyenangkan semua pihak. Dalam berprestasi, ada orang yang puas dengan menjadi “rata-rata”, berorientasi pada penilaian pihak eksternal, sehingga tidak menuntut dirinya untuk selalu mencapai titik terbaik. Padahal, seorang ahli mengatakan: “Mediocrity isn't a quest to be pursued “. Kita tidak akan "jadi apa-apa" atau menciptakan apa-apa, bila selalu berada di posisi “so-so” atau merasa diri “sekadar” pegawai, “sekadar” manager, atau “sekadar” orang kecil.

Kita tentu kagum bila mendengar ada petani di kampung yang bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga betul-betul sukses. Orang seperti ini, tidak melihat dirinya “sekadar” petani, namun ia bisa melihat masa depan sampai ke titik yang paling optimal.

Apapun posisi kita dalam organisasi, kita sesungguhnya punya peran penting dan perlu bangga dengan peran yang kita jalankan. Seorang arsitek, planner, desainer, sekretaris, dan trainer, punya peran untuk menghasilkan ciptaan-ciptaan yang lebih efisien, baik itu ide, buku, atau sistem yang bisa mempermudah hidup dan pekerjaannya. Menjalankan peran dengan bangga dan “all out”-lah yang akan menciptakan happiness dan sekaligus meningkatkan kualitas hidup kita.

Ada individu yang kerap merasa bahwa ia sudah mengembangkan diri dan tinggal menjalankan hidup saja. Padahal, pribadi itu ibarat pensil. Pensil yang baik akan bisa digunakan untuk menulis, namun sebentar-sebentar perlu diasah. Pensil yang tumpul tidak bisa menulis dengan baik, dan menjadi usang dan ditinggalkan bila tidak dipertajam.

Kita pun, ibarat pensil, senantiasa perlu belajar mengasah ketrampilan dalam hubungan sosial, menebalkan keyakinan, dan tidak boleh puas dengan keadaan yang sudah dicapai. Individu yang mudah merasa puas, akan cepat menunjukkan sikap dirinya selalu benar, “sok tahu” tanpa rasa ingin memperbaiki diri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com