Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/09/2012, 06:52 WIB

Oleh : Nawa Tunggal

Efek brain plasticity, semacam perbaikan sel-sel otak, merupakan hasil yang diharapkan dari pengobatan medis bagi penderita gangguan jiwa. Psikoterapi, termasuk terapi seni, sangat penting untuk menunjang terjadinya efek tersebut.

”Obat membantu secara kimiawi terjadinya pemulihan sel-sel otak. Adapun psikoterapi, seperti terapi seni, dibutuhkan untuk memberi isi pikir yang positif,” kata psikiater Margarita M Maramis dari Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya, akhir Juli lalu, dalam seminar mengenai gangguan bipolar di Jakarta.

Gangguan bipolar merupakan gangguan otak yang ditandai dengan perubahan mood (perasaan), pikiran, energi, dan perilaku. Itu berbeda dengan skizofrenia, yang menurut Margarita juga merupakan gangguan otak, tetapi lebih memengaruhi isi pikir, seperti adanya halusinasi, ilusi, dan delusi.

Pada prinsipnya, bipolar dan skizofrenia membutuhkan farmakoterapi dan nonfarmakoterapi. Farmakoterapi alias obat diberikan oleh psikiater.

Adapun nonfarmakoterapi dilakukan lewat psikoterapi dan psikoedukasi. Psikoterapi adalah pemberian aktivitas tertentu, sedangkan psikoedukasi meningkatkan kesadaran pasien untuk mengatasi gangguan penyakitnya dan menurunkan stigma.

”Keduanya bermanfaat agar pasien mengerti cara terbaik berhubungan dengan keluarga, pasangan, dan masyarakat dalam membentuk kehidupan mereka,” kata Margarita.

Keseimbangan

Ahli psikologi klinis Monty Prawiratirta Satiadarma dari Universitas Tarumanagara, Jakarta, menyebutkan, menjaga keseimbangan hidup memerlukan saluran. Terapi seni merupakan salah satu saluran. ”Fantasi penderita skizofrenia ataupun bipolar sangat luar biasa. Jalur seni rupa paling bisa mewadahi,” ujar Monty.

Ia mengatakan, terapi seni merupakan bagian penting untuk pemeliharaan kesehatan, tetapi di Indonesia masih sedikit dijalankan.

Seni sebagai kegiatan untuk mengekspresikan diri atau pengalaman. ”Untuk menjalankan terapi seni, kemampuan diagnostik menjadi sangat penting,” paparnya.

Seni rupa tiga dimensi lebih tepat diterapkan bagi mereka yang didiagnosis mengalami gangguan mental serta motorik. Seni rupa tiga dimensi seperti membuat patung dengan tanah liat atau adonan kertas (paper clay).

Diagnostik dapat dilakukan dengan mengamati hasil karya lukis pada dua dimensi. Misalnya, penderita menggambar bentuk setan karena ada gambaran setan dalam pikirannya.

”Dengan terapi seni, kita ajak penderita mengubah isi pikiran, di mana gambaran setan diubah jadi malaikat,” katanya.

Seni inklusif

Dalam diskusi Indonesian Street Art Database, akhir Juli, dua narasumber, Khairani Barokka dan Hana Alfikih, membicarakan terapi seni dan kaitannya dengan disabilitas.

Sebagai advokat seni inklusif, Khairani memaparkan, terapi seni mengubah keadaan diri seseorang dari kurang baik menjadi lebih baik. ”Seperti seni grafiti (street art) untuk mencurahkan isi hati mampu menjadi kegiatan self healing (penyembuhan diri),” katanya.

Khairani menyatakan, sangat sedikit pendidikan psikologi yang memasukkan terapi seni untuk orang-orang dengan disabilitas. Program pemerintah juga masih minim untuk pengembangan terapi seni.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com