Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kami Ingin Bersepeda Tanpa Henti

Kompas.com - 20/09/2012, 01:47 WIB

Sepeda juga menjadi identitas bagi Djoko Edi Santoso (57). Wiraswasta asal Jakarta ini memiliki nama populer Djoko Merlin karena ke mana-mana membawa sepeda merek Merlin. ”Jika ada sepeda Merlin, berarti ada Djoko. Begitu cara teman- teman mengetahui keberadaan saya,” katanya.

Seperti halnya penggowes lanjut usia lainnya, ia juga tetap rajin bersepeda dan ikut tur. Kebanggaan dan kebahagiaan terbesarnya adalah bisa mengajak orang lain yang belum bersepeda menjadi penggemar sepeda.

Soal gowes-menggowes, Djoko mengakui tak selalu bisa sukses menaklukkan jalur. Ia juga tak malu-malu jika dibantu. Sering kali penggowes, terutama yang muda, suka gengsi jika didorong atau dievakuasi. ”Kadang saat ngobrol dengan teman, kami atur napas dulu. Jadi, tidak kelihatan ngos-ngosan. Ada pula yang pura-pura benerin rem atau berfoto. Padahal, sebenarnya hanya ingin ambil napas sejenak. Itu saking gengsinya, ha-ha...,” canda Djoko.

Bali-Komodo

Di Jelajah Sepeda Bali-Komodo yang berlangsung 18-24 September, para veteran ini bergabung dengan penggowes yang lebih muda. Jarak yang ditempuh mencapai 620 kilometer, menyeberangi lima pulau, dan melintasi padang savana. Jauhnya perjalanan, lamanya waktu berlayar, dan keringnya cuaca ternyata sama sekali tak melunturkan semangat mereka.

Sebagian dari mereka merupakan peserta Kompas Bali Bike. Meski interval kedua acara itu hanya sehari, mereka tetap nekat bergabung dan bersemangat ingin segera menggowes lagi. Bagi mereka, perjalanan jelajah sepeda dari Bali menuju Pulau Komodo adalah perjalanan yang menantang, menyentuh hati, dan memberi arti.

Daeng akan mengenang perjalanan ke Pulau Komodo sebagai petualangan yang melekat di hati karena mungkin takkan terulang lagi. Di setiap momen, ia selalu menyempatkan diri mengambil foto diri, foto teman, bahkan foto warga di kampung yang dilaluinya.

Sejak perjalanan awal, Lilik juga mengaku sudah mendapatkan sesuatu yang berharga, yakni pertemanan. ”Saat sampai di sini saya tidak kenal siapa-siapa. Namun, kini saya bisa akrab dengan siapa saja, bisa janji gowes ke mana-mana, bahkan menjalin relasi. Tidak sekadar sehat di badan,” katanya.

Kedekatan pesepeda dengan masyarakat dan budayanya pun kian kuat. Ikut menjadi tim jelajah sepeda, Djoko bisa melihat masih banyak daerah yang terbelakang. Saat bersepeda ke Malingping, Banten, misalnya, ia mengaku melihat listrik di kawasan itu baru masuk tahun 1990. Seolah daerah itu baru saja menikmati kemerdekaan ketika tiang listrik dipancangkan. Di Jelajah Sepeda Bali-Komodo, ia juga melihat bagaimana pembangunan tak merata. Semakin ke timur, infrastruktur dan sumber daya manusia semakin tertinggal.

Dari bersepeda, mereka tak hanya mendapatkan kesenangan dan kesehatan, tetapi juga bisa melihat sisi lain Indonesia. Bahkan, mungkin membangun peradaban baru. (NIT/SEM/JAN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com