Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/11/2013, 16:27 WIB
Wardah Fajri

Penulis

KOMPAS.com - Anak dengan kondisi malnutrisi bisa kekurangan atau kelebihan zat gizi tertentu. Malnutrisi rupanya tak hanya terjadi pada kalangan ekonomi lemah, yang kerap kesulitan mendapatkan bahan pangan dengan gizi seimbang untuk penuhi kebutuhan nutrisi anak. Malnutrisi juga bisa dialami anak dari kalangan menengah atas, karena masalah pola asuh.

Entos Zainal, Kasubdit Bina Gizi Makro, Direktorat Bina Gizi Kementerian Kesehatan RI memaparkan satu dari 10 anak orang kaya kurang gizi, dua dari tiga anak orang kaya bertubuh pendek.

"Faktor ekonomi tidak selalu menjadi penyebab anak kekurangan gizi. Pola asuh juga bisa menjadi penyebabnya," tutur Entos dalam presentasinya di sela penghargaan Kader Gizi Jabodetabek Kampanye "Dari Usia 1 Bersama Scott's", di Jakarta, Kamis (28/11/2013).

Menurut Entos, pola asuh turut menentukan status gizi anak. Persoalan kekurangan gizi bukan hanya disebabkan ketidakmampuan orangtua menyediakan bahan pangan berkualitas, atau memastikan bahan pangan memenuhi standar gizi seimbang. Bagaimana orangtua memberikan makanan kepada anak juga punya andil terhadap status gizi anak.

Pada kalangan menengah atas, informasi mengenai gizi bukan lagi menjadi masalah. Mereka mudah mendapatkan akses informasi, tak seperti kalangan menengah bawah yang membutuhkan bahkan mengandalkan para kader gizi misalnya, untuk memastikan anak mereka terpenuhi kebutuhan nutrisinya.

Hal ini menunjukkan pemahaman gizi anak saja tak cukup jika orangtua tidak turut andil dalam praktek pemberian makanan. Terutama pada anak hingga usia dua tahun, masa yang sangat menentukan untuk tumbuh kembang optimal.

Entos mengatakan, sebagian kalangan menengah atas bisa jadi memahami manfaat ASI, namun belum tentu mau memberikan ASI. Mereka juga paham MPASI mulai enam bulan dengan gizi seimbang, namun mereka tidak mempraktikkan langsung.

"Masalahnya terletak pada pola asuh. Tidak sadar pentingnya ASI, sehingga tidak memberikan ASI. Juga pembuatan MPASI, mereka hanya menyerahkan ke pengasuh tanpa mengontrol kebersihannya. Mereka tidak menjadi aktor dalam pengasuhan anak, karena menyerahkan kepada pengasuhnya," ungkap Entos.

Padahal, kata Entos, masalah kekurangan gizi pada anak bisa dicegah dengan memastikan kecukupan nutrisi pada 1.000 hari kehidupan pertama anak. Yakni 270 hari masa kehamilan ibu, ditambah 730 hari setelah anak lahir atau hingga anak usia dua tahun. Pada periode emas inilah perkembangan otak terjadi dengan pesat. Untuk bisa berkembang baik, anak membutuhkan gizi tepat dan seimbang. Periode ini juga tidak bisa tergantikan. Jika kebutuhan gizi anak terpenuhi dengan baik, potensi anak pun bisa berkembang optimal.

Karenanya, lanjut Entos, selama sembilan bulan masa kehamilan, ibu perlu mulai menjaga kualitas makanan. Asupan penting seperti protein hewani dan nabati perlu menjadi perhatian. Kalau pun tidak bisa mengonsumsi protein hewani seperti daging, setidaknya perbanyak konsumsi ikan. Pilihan lainnya, konsumsi protein nabati seperti tahu, tempe, dan kacang-kacangan. Kebutuhan zat besi juga perlu dipenuhi ibu hamil.

Setelah anak lahir, Inisiasi Menyusui Dini atau IMD bisa menjadi langkah berikutnya dalam memberikan gizi terbaik untuk anak. Pemberian ASI eksklusif enam bulan, hingga anak berusia dua tahun juga menentukan gizi anak.

Mulai anak berusia enam bulan, tambahan gizi bisa didapatkan dari MPASI. Hanya saja MPASI pun bisa saja rendah nutrisi karena zat gizi tidak seimbang, kurang dari segi jumlah, dan tekstur makanan yang kurang tepat, selain faktor kebersihan pembuatan makanan yang juga turut memengaruhi.

"MPASI kualitas rendah karena sumbernya tidak seimbang, tidak banyak sumber hewani, vitamin dan mineralnya juga rendah. Padahal vitamin mineral inilah yang memudahkan pembelahan sel. MPASI kaya karbohidrat tapi miskin protein," ungkapnya.

Selain ketidakseimbangan jenis MPASI, jumlah dan tekstur makanan juga menyebabkan kualitas MPASI rendah.

"Pemberian MPASI yang kurang tepat jumlah, juga teksturnya misal terlalu cair sehingga anak hanya merasa kenyang tapi kurang zat gizinya, ini berpengaruh kepada kualitas MPASI," terangnya.

Kurangnya zat gizi pada ibu hamil dan MPASI juga dipengaruhi faktor mitos dan kebiasaan. Ada makanan tertentu yang diberikan atau tidak diberikan karena kebiasaan di masyarakat. Misal, pada ibu hamil, ada kebiasaan di masyarakat yang melarang ibu hamil makan ikan, padahal ikan kaya Omega 3.

Mitos dan kebiasaan ini juga lah yang didapati Siti Zahra, Kader Gizi dari Kecamatan Tanjung Priok, pemenang ketiga Kampanye "Dari Usia 1 Bersama Scott's".

Dari pengalamannya mendampingi dan berbagi pengetahuan dengan kaum ibu, baik kalangan menengah atas dan bawah, Siti mengaku menemui banyak kebiasaan keliru juga mitos yang menimbulkan risiko kekurangan gizi pada anak.

Soal ASI misalnya, ia mendapati banyak ibu dari kalangan mampu yang enggan memberikan ASI. "Mereka khawatir payudaranya kendur," ungkapnya kepada Kompas Health.

Mengenai MPASI, lanjut Siti, banyak orangtua dari kalangan menengah bawah yang kurang informasi dan mereka juga cenderung lebih suka memberikan makanan instan daripada mengolah sendiri MPASI alami.

"Tapi setelah diberikan contoh bagaimana mengolah MPASI sendiri, mereka bersemangat mengolah makanan sendiri. Saya pernah menjadi babysitter selama empat hari mendampingi satu ibu. Karena ibu ini memberikan pisang pada bayi yang baru berusia tiga hari," ungkapnya.

Berbekal pengetahuan tepat, kaum ibu kalangan menengah bawah ini pun perlahan mengubah perilaku. Dampaknya pun mulai terlihat dari tumbuh kembang anak yang baik. Sementara pada kalangan menengah atas, kebiasaan dalam pola asuh dan persepsi yang keliru soal menyusui, masih menjadi tantangan tersendiri.


 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com