Kau hancurkan aku dengan sikapmu
Tak sadarkah kau telah menyakitiku
Lelah hati ini meyakinkanmu
Cinta ini membunuhku
(Syair lagu: ”Cinta Ini Membunuhku”, d’Masiv, 2008)
PETIKAN lagu itu mungkin bisa menggambarkan hancurnya hati Assyifah Ramadhani (18). Rasa cintanya kepada Ahmad Imam Al-Hafitd (19) justru membawanya ke bui. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis mereka 20 tahun penjara pada 9 Desember lalu karena terbukti membunuh Ade Sara Angelina Suroto.
”Gara-gara dia, saya seperti ini,” kata Assyifah saat ditemui di Rumah Tahanan Kelas IIA Jakarta Timur atau populer disebut Rutan Pondok Bambu, Jumat (19/12). Tinggal dalam penjara, terpisah dari orangtua dan kelima saudaranya, serta membuyarkan rencananya untuk kuliah sambil berbisnis.
Wajahnya yang semula berseri-seri saat dibesuk ayah dan ibunya langsung menunjukkan ketidaksukaan saat Kompas menanyakan hubungannya dengan Hafitd. Ia sudah berusaha mengubur segala kenangan dan perasaannya kepada Hafitd sejak kasus itu terjadi. Terlebih lagi, hingga kini, tak ada kata maaf terucap darinya.
Sementara Hafitd yang ditemui di Rumah Tahanan Kelas I Jakarta Pusat atau Rutan Salemba, Selasa (23/12), menuturkan, tak ada lagi rasa cinta diantara mereka berdua. Namun, ia menolak jika dianggap dirinya yang membuat Assyifah jadi seperti sekarang. ”Ini tanggung jawab masing-masing,” katanya.
Hafitd mengakui, gara-gara cinta, ia bisa melakukan sesuatu di luar kehendaknya. Karena itu, agar tak mengalami perkara seperti dirinya, ia berpesan kepada remaja lain, ”Jangan terlalu obsesif saat pacaran.”
Meski tak lagi sejalan, Hafitd dan Assyifah kini berusaha memperbaiki diri, menjalani garis hidup yang belum tentu semua orang sanggup menjalani.
Kasus Hafitd dan Assyifah adalah sebagian dari sejumlah kasus pembunuhan berlatar belakang asmara remaja. Menurut catatan Kompas, kasus seperti itu terjadi tanpa mengenal kelas ekonomi dan sosial.
Siap kehilangan
Cinta muncul sebagai dorongan untuk melestarikan sesuatu atas dasar ketertarikan emosional. Cinta yang datang akan selalu diikuti rasa memiliki serta hasrat menjaga dan melindungi. Jika rangkaian rasa itu terganggu, muncul pertahanan diri untuk melindungi apa yang dimiliki.
Namun, pada manusia, cinta tak lagi sekadar rasa memiliki. ”Cinta pada manusia memiliki sentuhan rasional yang digerakkan korteks prefrontal di otak bagian depan,” kata Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi Manado, yang juga Sekretaris Jenderal Masyarakat Neurosains Indonesia, Taufiq Pasiak.
Konsekuensinya, cinta pada manusia akan disertai pemikiran bahwa yang dimiliki itu bisa hilang. Sikap itu hanya bisa dicapai jika seseorang mampu menjaga jarak dengan yang dicintainya karena yang ia cintai bukan dirinya. ”Cinta sejati dan bernilai tinggi adalah cinta yang siap kehilangan,” katanya.
Namun, kesadaran itu kerap tak muncul pada remaja. Mereka yang baru mengenal romantika belum mampu menjaga jarak dengan yang dicintainya.
Ketidaksiapan remaja menghadapi ”hilangnya” yang ia cintai membuat asmara remaja kerap diwarnai tragedi. Putus pacaran yang sebenarnya soal biasa berubah jadi drama yang menguras emosi. ”Putus adalah konsekuensi logis dari pacaran,” kata psikolog klinis Universitas Bina Nusantara, Jakarta, yang risetnya fokus pada relasi romantis pranikah, Pingkan CB Rumondor.
Pacaran adalah tahap saling mengenal antara laki-laki dan perempuan, mengenali perilaku diri dan pola relasi dengan pasangan, serta mengevaluasi hubungan yang dijalin, akan diteruskan hingga pernikahan atau tidak. ”Putus berarti ada kesadaran atas ketakcocokan antara dua individu,” katanya.
Sedih saat putus cinta adalah respons sehat. Namun, harus dijaga agar kesedihan itu tak berkepanjangan sehingga bisa segera mengambil pembelajaran atas hal yang sudah terjadi dan siap menatap langkah baru.
Masalahnya, remaja dan orang dewasa awal berusia 18-22 tahun sering berpacaran dengan tujuan berbeda, mulai dari hanya ingin bersenang-senang, karena tekanan teman, demi kebanggaan diri, hingga ingin bereksperimen soal seks. ”Agar pacaran sehat, tujuan pacaran harus diingat,” ujarnya.
Pacaran sehat mirip persahabatan, saling berbagi emosi, tetapi ada ikatan ketertarikan dan rencana jangka panjang. Karena itu, pacaran sehat bisa jadi media saling mengeksplorasi potensi diri dan pasangan.
Jika muncul sikap posesif, tuntutan, dan keharusan melakukan sesuatu atau pembatasan melakukan hal positif sebelum pacaran, itu gejala pacaran tak sehat. Terlebih lagi jika terjadi kekerasan, baik fisik, verbal, maupun emosional.
Orangtua
Perilaku pacaran remaja, kata Pingkan, terkait erat dengan kelekatan hubungan antara anak dan orangtua yang dibangun sejak bayi. Kelekatan itu menentukan persepsi anak tentang bagaimana ia seharusnya diperlakukan dan bagaimana ia mesti memperlakukan orang lain. ”Sikap responsif orangtua akan memunculkan persepsi anak bahwa apa pun yang terjadi, dia tetap berharga,” katanya. Ia akan melakukan sesuatu karena punya tujuan, bukan karena ingin dihargai.
Orangtua responsif mendorong anak terbuka, mau bercerita apa pun dengan orangtua. Keterbukaan itu bisa jadi pintu masuk bagi orangtua menanamkan nilai-nilai positif, termasuk soal pacaran dan risikonya.
Hubungan anak-orangtua yang tak nyaman akan menghasilkan hubungan dengan orang lain, termasuk pacar, yang tak nyaman. Bahkan, mereka sulit keluar dari pacaran yang menimbulkan tekanan jiwa.
Hal senada diungkapkan Taufiq. Keluarga sejatinya adalah tempat berpulang atas segala masalah remaja. Namun, seiring semakin longgarnya nilai di masyarakat dan lemahnya mutu pendidikan di lembaga formal, peran keluarga justru kian surut. Padahal, hanya dari keluarga yang hangat, lahir remaja-remaja tangguh yang mengarungi dunia, termasuk menghadapi problematika cinta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.