Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/06/2015, 15:40 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Maraknya peredaran rokok ilegal di Indonesia mengakibatkan jumlah perokok terus bertambah. Hal itu karena harga rokok ilegal relatif lebih terjangkau dibandingkan dengan rokok legal. Dampak negatif lain adalah negara berpotensi kehilangan pendapatan negara dari cukai rokok hingga mencapai Rp 10 triliun per tahun.

"Rokok ilegal berpotensi meningkatkan jumlah perokok pemula," kata Menteri Kesehatan Nila F Moeloek dalam dialog interaktif Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2015, Senin (8/6), di Jakarta. Acara itu juga dihadiri Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Roy A Sparringa, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, dan penyair Taufiq Ismail.

Karena dijual dengan harga lebih murah dibandingkan dengan rokok legal, anak-anak pun mampu membeli rokok ilegal sehingga berkontribusi pada statistik usia perokok pemula yang kian muda. Seperti diberitakan Kompas (28/5), pada 2007, angka usia pertama kali merokok penduduk kelompok umur 15-19 tahun 33,1 persen dan naik menjadi 43,3 persen pada 2010. Kenaikan juga terjadi pada kelompok usia 10-14 tahun periode sama, yakni 10,3 persen menjadi 17,5 persen.

Nila menambahkan, rokok ilegal menghambat upaya kesehatan masyarakat. Salah satu kasus adalah peringatan kesehatan bergambar tidak tercantum pada kemasan rokok. Jadi, informasi bahaya merokok tak tersampaikan secara benar ke masyarakat.

Jika perdagangan rokok ilegal dicegah, pendapatan negara akan naik signifikan sehingga bisa digunakan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lewat program promotif dan preventif. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jika peredaran rokok ilegal dihilangkan, dunia bisa mencegah kehilangan pendapatan negara secara global 30 miliar dollar AS (setara Rp 399 triliun) per tahun dan 164.000 kasus kematian dini.

Menurut Tulus, dalam 10 tahun terakhir, jumlah rokok ilegal meningkat. Kini porsi rokok ilegal mendekati 9 persen dari total produksi rokok nasional. "Jika bicara cukai, kita kehilangan Rp 9 triliun-Rp 10 triliun per tahun akibat beredarnya rokok ilegal," ujarnya.

Rokok ilegal tidak hanya yang tak punya pita cukai atau berpita cukai palsu, melainkan juga yang tanpa peringatan kesehatan bergambar atau peringatan tertutup pita cukai. Dari survei YLKI pada Februari-Maret di Jakarta, Yogyakarta, Denpasar, dan Medan, 66 persen kemasan rokok punya pita cukai yang menutupi peringatan kesehatan bergambar.

Tugas bersama

Roy menjelaskan, upaya menekan peredaran rokok ilegal bukan hanya tugas kementerian atau lembaga sektor kesehatan. BPOM dimandatkan mengawasi tiga hal terkait dengan peredaran rokok, yakni kebenaran informasi pada label kemasan, iklan, dan promosi produk tembakau. Sementara BPOM tidak bertanggung jawab pada pengawasan sebelum rokok masuk pasar.

Sebagai contoh, jika masalah terjadi saat impor untuk rokok, tanggung jawab ada di Kementerian Perdagangan. Sementara Kementerian Perindustrian bertanggung jawab mengawasi saat tahap produksi dan Kementerian Keuangan mengawasi cukai.

Roy menegaskan, BPOM terlibat aktif menekan peredaran rokok ilegal. Badan itu pun berwenang memberi sanksi berupa rekomendasi penghentian produksi. Namun, kementerian mana yang bisa menerima rekomendasi itu belum jelas. "Jika semuanya sudah jelas, BPOM siap untuk itu," ujarnya.

Karena perokok pemula kian muda, menurut Nila, Kemenkes tak hanya melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan untuk menangkal peredaran rokok ilegal. Pihaknya melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun, koordinasi itu belum terkoordinasi dengan baik.

Terkait Indonesia yang belum juga mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC), Nila sudah menyampaikan hal itu kepada Presiden Joko Widodo. (JOG)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau