Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masih Percaya Mitos Seputar Vaksin? Baca Dulu Faktanya!

Kompas.com - 23/09/2015, 11:49 WIB
KOMPAS.com - Pro dan kontra vaksin memang tak pernah benar-benar hilang. Demikian juga dengan mitos-mitos keliru yang melingkupinya. Berikut adalah beberapa mitos seputar vaksin yang masih dipercaya banyak orangtua dan bagaimana fakta sebenarnya.

1. Menyebabkan autisme

Mitos: Anak yang divaksin MMR beresiko autisme.

Ini merupakan mitos yang paling sering disebarkan. Keberadaan mitos ini berkembang dari sebuah studi dalam jurnal medis di The Lancet, Inggris dan dilakukan oleh Dr. Andrew Wakefield yang mengaitkan autisme dengan vaksin.

Penelitian yang dilakukan tahun 1998 itu melibatkan orangtua yang memiliki anak penyandang autisme dan menggarisbawahi bahwa kejadian autisme meningkat, sementara penyakit campak, gondok dan rubela menurun drastis.

Gerakan anti-vaksin terus berkembang setelah Jenny McCarthy dan selebritis lainnya ikut bergabung. Para ilmuwan mengkritik Wakefield, namun orangtua tetap cemas sehingga jumlah anak-anak di Amerika Serikat yang diberikan vaksin MMR yang mencegah campak, gondok, dan rubela, turun drastis.

Fakta:
Beberapa penulis pendamping dalam studi itu menarik kembali nama mereka pada penelitian yang dilakukan 2004 silam setelah mengetahui bahwa mereka telah dibayar oleh sebuah firma hukum yang ditujukan untuk menuntut produsen vaksin. Di tahun yang sama pula, sebuah institusi medis dari Amerika Serikat dan Inggris mengkaji ulang, dan tidak menemukan adanya hubungan antara vaksin dan autisme.

Pada 2010, jurnal medis di Inggris menyimpulkan bahwa temuan Wakefield salah karena mengubah sejarah medis dari semua kasus 12 pasiennya. Penelitian Wakefield ditarik kembali oleh The Lancet di tahun 2010. Ia lantas kehilangan lisensi medisnya.

Seorang ilmuwan dari grup advokasi autisme, Autism Speaks, mendesak agar para orangtua memvaksinasi anak-anak mereka. "Dalam dua dekade terakhir riset telah dilakukan untuk menemukan kaitan antara vaksin pada masa tumbuh kembang anak dan autisme. Hasilnya jelas, vaksin tidak menyebabkan autisme," kata Rob Ring,

2. Mengandung racun

Mitos: Vaksin mengandung merkuri yang meracuni anak-anak serta menyebabkan autis.

Sekitar tahun 1930-an beberapa pembuat vaksin menggunakan zat pengawet yang bernama Thimerosal, yang di dalamnya mengandung sedikit senyawa merkuri, guna mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur.

Fakta: Pada tahun 2010, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menghentikan peredaran vaksin yang mengandung Thimerosal, sehingga anak-anak tidak lagi diberi vaksin yang mengandung bahan tersebut.

Selain itu, kebanyakan vaksin untuk anak berusia kurang dari 6 tahun memang tidak mengandung bahan itu. Walau menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS ada sedikit zat pengawet itu ditemukan dalam vaksin flu bagi anak-anak.

Zat pengawet sudah lama dipakai dalam vaksin dan masih dipakai dalam vaksin untuk orang dewasa. Tapi menurut FDA banyak penelitian dilakukan dan tidak ditemukan kaitan dengan autisme atau efek samping serius.

Mengenai autisme, sejak kandungan Thimerosal dihilangkan dari vaksin anak-anak, prosentase anak yang terdiagnosis autisme tetap meningkat. Tentu saja ini tidak masuk akal jika Thimerosal adalah penyebabnya.

3. Vaksin digunakan hanya untuk mencari keuntungan.

Mitos: Dokter dan perusahaan asuransi mempromosikan penggunaan vaksin sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan semata.

Fakta: Kebanyakan perusahaan asuransi menanggung biaya vaksinasi untuk mencegah pengeluaran berlebihan yang harus dibuat oleh pasien mana kala terkena penyakit.

4. Mengandung antigen berlebihan

Mitos: Anak anak mendapatkan vaksinasi jauh lebih banyak dibanding sebelumnya, dan vaksinasi membuat antigen di dalam tubuh anak menjadi bertambah (antigen adalah bagian dari vaksinasi yg berfungsi meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit). Apabila berlebihan, maka akan berbahaya bagi kesehatan anak anak.

Fakta: Walaupun saat ini lebih banyak vaksinasi yg diberikan, tetapi jumlah antigen yg diberikan kepada pasien jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 30 tahun yg lalu.

Menurut Dr.Sanjay Gupta dari CNN, pada tahun 1980 pasien menerima kurang lebih 3000 antigen, sementara saat ini pasien hanya 150 antigen. Menjauhkan vaksinasi dari anak anak dalam jangka waktu yang lama, dengan didasari ketakutan terhadap jumlah antigen yang berlebihan, hanya akan membuat anak anak semakin rentan terkena penyakit.

Kemudian mengenai autisme, sama seperti thimerosal, jumlah penderita autisme meningkat ketika jumlah antigen yang digunakan menurun.

5. Penyakitnya sudah hilang

Mitos: Lebih baik vaksin dihindari karena anak-anak tidak terlalu membutuhkan. Penyakit yang dicegah sudah lama tidak ada dan jika ada, bisa hilang dengan sendirinya.

Fakta: Pada tahun 2014 kasus penyakit campak di AS sangat tinggi dengan jumlah kasus 644. Sumber penularan diketahui dari seorang anak yang tidak divaksin lalu tertular virus ini dan menularkannya ke anak-anak lain.

Campak bukanlah penyakit ringan karena dapat menyebabkan kerusakan otak dalam jangka panjang, ketulian, serta kematian. Secara umum, ini adalah pembunuh utama pada anak-anak menurut data yang dihimpun oleh WHO.

Sebelum vaksin campak ditemukan di tahun 1960an, ada sekitar 3 juta hingga 4 juta kasus campak per tahun yang mengakibatkan kematian hingga 500 kasus di AS.

Vaksinasi campak di negara ini telah mengurangi tingkat infeksi dalam populasi 99 persen dibandingkan pada waktu vaksin belum ditemukan. (Muthia Zulfa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau