Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/08/2016, 18:30 WIB

Obat adalah produk yang distribusinya diatur ketat oleh regulasi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan betapa mudahnya masyarakat mendapatkan obat tanpa resep dokter di apotek, obat keras di toko obat, bahkan di warung pinggir jalan sekalipun.

"Biasa Bang," kata seorang ibu sambil menyodorkan uang Rp 50.000. Sebagai gantinya, ibu itu memperoleh setidaknya delapan kantong berisi pil warna hijau dan putih. Obat itu diberikan Arif, pedagang obat keliling di pertokoan Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (5/8).

Ibu itu membeli obat asam urat dan darah tinggi. "Sudah langganan," kata Arif.

Obat itu diedarkan begitu saja tanpa melalui pemeriksaan dokter, apalagi resep dokter. Setiap kantong obat yang dijual hanya berisi pil-pil obat telanjang, tanpa bungkus obat resmi seperti biasa ditemui di apotek. Karena itu, sulit untuk mengetahui jenis pil yang dijual.

Satu kantong obat asam urat atau rematik, misalnya, berisi empat kantong kecil. Tiap kantong kecil itu berisi dua pil dan satu kaplet berwarna hijau dan putih, ditambah satu lembar berisi penjelasan aturan minum.

Harga obat asam urat itu Rp 5.000 per kantong. Untuk obat darah tinggi dan kencing manis, masing-masing dijual Rp 10.000.

Tisna (70), pedagang burung dara yang biasa mengonsumsi obat jenis itu, menuturkan, dirinya membeli obat di pedagang keliling karena manjur dan murah. Ia mengaku tak mengalami efek apa pun setelah meminum obat itu meski dia tak tahu jenis obat yang diminumnya.

Untuk memudahkan konsumen menentukan jenis obat yang akan dibeli, Arif memberikan brosur berisi jenis obat yang dijual. Pada brosur itu disebutkan daftar obat 32 macam penyakit, mulai dari sakit pinggang, kesemutan, keletihan, asma, sakit ginjal, hingga sakit gigi.

Obat keliling Arif dijajakan dengan menggunakan mobil yang daun pintunya tertulis Primer Koperasi Veteran RI. Selama berjualan, Arif dibantu rekannya, Ujang. Penjualan obat keliling itu berlangsung hampir 15 tahun. "Obat yang dijual adalah obat generik yang dikelola Koperasi Veteran," ucap Ujang.

Selain di Jatinegara, obat keliling Primer Koperasi Veteran RI itu buka di kawasan Pasar Jatinegara, area parkir Pasar Klender (Jakarta Timur), area parkir Gelanggang Remaja Senen (Jakarta Pusat), dan area parkir Metropolitan Elektronik Bekasi (Bekasi).

Obat berbagai penyakit yang dibungkus plastik transparan berisi 2-5 jenis obat berbeda juga beredar di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor. "Ada saja yang beli. Biasanya kalau musim tanam padi, banyak petani beli. Untuk nyeri badan dan rematik, katanya," ujar Juli, pemilik warung, di Desa Babakan Raden, Kecamatan Cariu, Bogor.

Paket obat demam (berisi lima obat) dijual Rp 2.500, harga obat nyeri badan (berisi dua jenis obat) Rp 2.000, dan obat sakit gigi (berisi tiga jenis obat termasuk obat keras) dijual Rp 2.500. "Obat kayak begini lebih laku dari obat pasar (obat bebas berpenanda hijau). Dalam seminggu habis," kata Juli.

Obat paket yang tak jarang ialah obat keras dijual penjual obat tradisional di Pasar Cariu. "Kami beli dari toko itu," ujar Nyonya Yana sambil menunjuk sejumlah toko obat dan apotek dekat tempatnya berjualan.

Kadang ada polisi datang menggerebek para penjual obat paketan di pasar. Biasanya, saat penggerebekan, toko obat yang menjual obat paket itu kepada pedagang kecil pun tutup.

Kedaluwarsa

Sementara di sebuah warung kelontong di tepi Jalan Raya Siliwangi, Pamulang, Tangerang Selatan, Masih (39), pemilik warung, mengeluarkan sejumlah obat bebas dari dus kecil tanpa tahu kapan obat itu kedaluwarsa. Beberapa obat dibeli potongan sehingga tanggal kedaluwarsanya ikut terpotong.

Sebagian besar obat diselimuti debu tebal karena warung itu ada di tepi jalan raya. Satu obat dengan kandungan parasetamol yang utuh kemasannya tampak berubah warna karena berdebu. Di baliknya, sebagian lapisan aluminium kemasan obat sobek. Terlihat tanggal kedaluwarsanya pada Juni 2015.

Masih mengaku tak pernah mengecek obat-obatan yang dibelinya di agen rokok itu. Baginya, obat akan ditambah kalau stoknya habis. Jika stoknya masih ada, ia belum akan membeli lagi atau membuang yang lama meski kedaluwarsa.

Tak terkendalinya distribusi obat juga tergambar dari mudahnya orang mencari obat penggugur kandungan. Di sekitar Pasar Pramuka, Jakarta, misalnya, pedagang makanan dan minuman bisa mendapat obat penggugur kandungan.

"Mau obat untuk menggugurkan kandungan? Saya bisa carikan di dalam. Cukup bayar Rp 700.000," kata Deden, pedagang makanan dan minuman.

Untuk meyakinkan calon konsumen, Deden membuka botol minuman yang diselipkan di kotak krat minuman. Dari botol itu, ia mengeluarkan obat yang dipakai sebagai penggugur kandungan. "Mau enggak? Saya kasih kurang deh, Rp 500.000. Untungnya tipis," ujarnya.

Menurut Deden, ada saja perempuan muda meminta bantuannya untuk mendapat obat penggugur kandungan. Sejauh ini, ia mengklaim tak ada konsumennya tewas setelah mengonsumsi obat itu.

Modus lain penjualan obat ialah penjualan secara daring. Bahkan, laman yang direkomendasikan Badan Pengawas Obat dan Makanan agar ditutup sejak 2013 melayani pembelian obat, termasuk penambah stamina pria. Mudahnya mendapat obat di berbagai tempat itu mencerminkan lemahnya pengawasan distribusi produk farmasi. (MDN/ADH/UTI/JOG)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Agustus 2016, di halaman 1 dengan judul ""Pasar Bebas" Obat dari Kota hingga Desa".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com