KOMPAS.com - Kita baru saja dikejutkan dengan peristiwa tragis seorang ibu muda memutilasi bayinya sendiri. Diduga, sang ibu mengalami depresi. Beberapa sumber juga mengatakan bahwa sebelum kejadian yang menyedihkan itu terjadi, sudah ada gejala tidak normal dari sang Ibu.
Sayangnya, orang-orang terdekat tidak memahami gejala itu dan akibatnya mungkin mereka tidak paham untuk segera memberi dukungan dan pertolongan yang dibutuhkan ketika gejala awal depresi baru muncul.
Atas kejadian itu, rasanya akan bijak jika kita lebih mengasah kepekaan dan wawasan kita mengenai perilaku depresi.
Untuk itu, silakan disimak penuturan psikolog klinis dari AS, Guy Winch, PhD, mengenai pengalamannya menangani pasien-pasien depresi dan cara membedakan depresi dengan kesedihan yang biasa.
Sedih Vs Depresi
Pada ibu baru, depresi pasca-kelahiran umumnya terjadi dalam tahun pertama, empat minggu setelah melahirkan atau bahkan berbulan-bulan setelah melahirkan.
Umumnya ibu akan merasakan kepanikan tanpa sebab yang jelas, merasa tidak bahagia, merasa sedih terus-menerus hingga selalu menangis, gangguan tidur dan makan, hingga kehilangan kasih sayang untuk bayinya.
Bahkan, tak sedikit ibu yang mengalami depresi pasca-kelahiran berpikir untuk bunuh diri atau membunuh bayinya. Meski di sisi lain, sang ibu merasa sangat takut akan menyakiti bayinya. Sehingga, ia tak ingin melihat dan menyentuh bayinya.
"Dalam tahun-tahun saya praktik, saya telah bertemu banyak orang sebenarnya menderita depresi, tapi mengira mereka hanya sedih biasa. Sedih dan depresi adalah dua hal yang berbeda dan tidak semua orang mampu membedakannya," ujar Winch.
Kebingungan membedakan keduanya dapat menyebabkan kita mengabaikan kondisi serius yang memerlukan pengobatan (depresi) atau justru bereaksi berlebihan terhadap keadaan emosional yang normatif (kesedihan).
Inilah mengapa kita perlu membedakan antara dua kondisi mental tersebut. Jika kita atau orang yang kita cintai mengalami depresi, hal itu memiliki implikasi besar bagi kesehatan mental jangka panjang, kesehatan fisik, dan bahkan kelangsungan hidupnya.
Kesedihan adalah emosi manusia yang normal. Kita semua pernah mengalaminya dan kita semua akan kembali merasakannya.
Kesedihan biasanya dipicu oleh peristiwa, pengalaman, atau situasi yang sulit, menyakitkan, menantang, atau mengecewakan. Ini juga berarti bahwa ketika situasi berubah, ketika sakit emosional kita memudar, ketika kita sudah menyesuaikan diri maka kesedihan pun ikut memudar.
Sedangkan depresi adalah keadaan emosi yang abnormal, penyakit mental yang memengaruhi cara kita berpikir, emosi, persepsi, dan perilaku. Depresi seperti bayang-bayang gelap yang meresap dan kronis.
Ketika kita mengalami depresi, kita merasa sedih tentang segala hal. Depresi tidak selalu dipicu oleh situasi sulit, tidak juga selalu dipicu oleh perubahan situasi dari menyenangkan atau biasa-biasa saja menjadi tidak seperti keinginan atau harapan kita. Bahkan, sering juga terjadi, tidak ada pemicu yang bisa dianggap cukup kuat, tapi reaksi orang yang depresi terasa begitu kuat.
Secara faktual, kondisi lingkungan baik-baik saja dan pasien depresi mengakuinya, tetapi mereka masih merasakan kesedihan yang mendalam untuk alasan yang tidak bisa selalu dijelaskan.
Depresi mewarnai semua aspek kehidupan penderitanya, membuat segalanya terasa kurang menyenangkan, kurang menarik, kurang penting, kurang dicintai, dan kurang berharga.
Depresi menguras tenaga, motivasi, dan kemampuan untuk mengalami sukacita, kesenangan, kegembiraan, kepuasan. Depresi merusak relasi kita dengan orang lain dan merusak pemaknaan kita terhadap kehidupan.
Depresi juga membuat ambang ketahanan emosional kita menjadi lebih rendah. Kita menjadi lebih cepat marah, frustasi dan meledak untuk kemudian baru mampu bangkit lagi setelah waktu yang lama.
"Berdasarkan pengalaman praktik saya, saya sering juga menemukan tanggapan awam yang salah terhadap orang depresi. Orang-orang sering mengharapkan agar orang yang depresi segera bisa bangkit keluar dari situasinya, dengan mengatakan: "Itu semua cuma ada di kepala Anda," atau "Anda harus memilih untuk menjadi bahagia!" jelas Winch.
Ketahuilah, tekanan seperti itu mencerminkan kesalahpahaman dalam memahami depresi dan hanya membuat orang dengan depresi merasa lebih buruk terhadap dirinya sendiri.
Gejala depresi sejati
Untuk dapat didiagnosis dengan depresi, orang harus memiliki setidaknya lima dari gejala berikut, dengan durasi yang terus-menerus atau minimal berlangsung selama dua minggu.
Tingkat keparahan gejala-gejala yang muncul juga harus dipertimbangkan, jadi silakan gunakan daftar ini hanya sebagai pedoman dan saya sarankan, agar Anda menemui seorang psikolog profesional untuk mendapat diagnosis yang pasti.
1. Suasana hati yang tertekan atau mudah marah di sebagian besar waktu.
2. Kehilangan kemampuan untuk bergembira atau kehilangan minat atas kegiatan atau orang lain yang dulunya mereka sukai.
3. Perubahan signifikan dalam berat badan atau nafsu makan.
4. Sulit tidur atau sebaliknya ingin terus tidur.
5. Menjadi lamban dalam gerakan atau gelisah hampir setiap hari.
6. Merasa lelah, lesu, dan memiliki energi yang rendah hampir setiap hari.
7. Memiliki perasaan tidak berharga atau merasa bersalah hampir setiap hari.
8. Mengalami masalah dengan fokus, konsentrasi, kreativitas dan kemampuan untuk membuat keputusan atas aktivitas rutin sehari-hari.
9. Muncul keinginan untuk bunuh diri atau membunuh orang lain.
Jika Anda berpikir Anda atau orang yang Anda sayangi mungkin sedang depresi, penting untuk memahami situasinya terlebih dulu, memberinya pengertian dan segera mencari nasihat dari psikiater atau psikolog profesional untuk mendapat diagnosis dan pengobatan yang tepat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.