Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/10/2016, 20:00 WIB
EditorLusia Kus Anna

Oleh M Zaid Wahyudi

Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Hanya karena satu masalah yang dianggap tak patut atau berbeda dengan pandangan masyarakat, sirna sudah semua kebaikan yang dimiliki seseorang.

Sosok yang sebelumnya dimuliakan tiba-tiba menjadi pribadi yang dianggap hina. Ditinggalkan raganya, diabaikan keberadaannya, bahkan direndahkan harkatnya.

Hal itu dialami sejumlah tokoh yang dikenal sebagai figur yang mempromosikan nilai-nilai moral dan kemuliaan jiwa di masyarakat. Mudahnya masyarakat mengagumi dan mengagungkannya, semudah itu pula mereka meninggalkannya.

Sebagaimana diberitakan sejumlah media massa, kasus terbaru ialah masalah yang dihadapi seorang motivator terkemuka. Kasus serupa pernah dialami seorang penceramah agama kondang saat berpoligami. Demikian pula kondisi sejumlah orang yang mengaku sebagai guru spiritual.

Masyarakat Indonesia ialah masyarakat emotif. Cara berpikirnya amat didominasi perasaan. Mereka cenderung enggan menalar atau mengolah informasi memakai akal karena proses itu rumit dan melelahkan bagi otak. Mereka lebih suka menerima sesuatu yang menyenangkan saja bagi dirinya.

"Akibatnya, mereka cepat menilai dan membuat kesimpulan. Pengambilan keputusan tak didasari penilaian lengkap dan valid," kata Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak, Kamis (15/9).

Dominannya emosi membuat bagian otak yang jadi pusat pengatur emosi atau limbik membajak korteks prefronal, bagian otak pengendali proses berpikir rasional.

Cara berpikir itu membuat penilaian atas moral didasari atas apakah penilaian itu memuaskan atau tidak bagi dirinya, bukan soal benar atau salah. Paparan media sosial yang amat besar kian membuat orang malas mengklarifikasi informasi yang beredar. Padahal, pengecekan informasi itu bisa dilakukan dari telepon seluler yang sama, yang digunakan untuk menjelajahi media sosial.

Psikolog sosial yang khusus meneliti relasi sosial dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Avin Fadilla Helmi, menjelaskan, masyarakat Indonesia, sama dengan warga Asia lain, suka membangun relasi. Relasi jadi kebutuhan sehingga mereka tak suka berbeda pendapat, apalagi berkonflik. "Mereka selalu menginginkan kondisi harmonis," katanya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+