Pertama, akan sukar bagi seorang Apoteker untuk memastikan keaslian resep hanya berbekal foto yang diunggah. Betapa pun vitalnya, resep hanyalah secarik kertas yang mudah dipalsukan.
Terdapat 4,740,000 hasil pencarian untuk pertanyaan “How to make a fake prescription?” di laman pencari Google. Hanya dengan sedikit usaha, konsumen sunguh-sungguh dapat “belajar” memproduksi resep semau hati sendiri.
Kedua, dalam layanan Go-Med, resep asli akan tetap berada di tangan konsumen. Lagi-lagi ini celah yang bisa dimanfaatkan konsumen untuk melakukan penebusan resep berulang.
Dampak buruk praktik nakal ini luas. Tidak hanya terbatas pada keselamatan konsumen. Organisasi kesehatan dunia (WHO) melansir pengunaan obat yang salah dan/atau berlebih telah memicu tingginya kasus resistensi antibiotik dan antivirus. Penderita menjadi lebih sulit disembuhkan.
Research and Development (RAND) Corporation menghitung, setiap tahun, dunia merugi hingga tiga triliun dollar dikarenakan kasus resistensi.
Ketiga, pada pasien tertentu, pemberian kompendium penggunaan obat via surat elektronik sangat tidak memadai.
Pasien dalam kondisi khusus (anak-anak, orang tua, ibu hamil, ibu menyusui, pasien dengan penyakit penyerta), yang menggunakan terapi jangka panjang atau obat dengan indeks terapi sempit, dan pasien yang menggunakan banyak obat sekaligus (umumnya disebut polifarmasi) tetap membutuhkan konseling interaktif dengan Apoteker.
Data karakteristik pasien yang minim dari sebatas unggahan resep akan menyulitkan Apoteker mengidentifikasi pasien dalam kondisi khusus. Ditambah lagi, proses konseling tentu tidak dapat diwakilkan kepada pengemudi Go-Jek.
Kegagapan Pemerintah dan Peluang Perbaikan
Menimbang potensi Go-Med mengkerdilkan fungsi apoteker dan membahayakan pasien, kita patut bertanya, mengapa hingga kini tak satupun narasi keresahan pemangku kepentingan tertangkap media. Walau sesungguhnya, jeda respons ini mudah dipahami.
Bukan rahasia bahwa Pemerintah acap gagal melahirkan kebijakan ex-ante yang antisipatif. Tidak ada satupun produk hukum terkait layanan kefarmasian memuat klausul apotek online dan layanan pesan-antar obat. Maka wajar jika kontestasi diskursus di kalangan internal lahir tanpa pijakan.
Menahan laju inovasi hanya akan membuang energi. Menutup layanan Go-Med mungkin juga tidak bijak jika menilik potensi yang dimilikinya. Kemampuan Pemerintah mereformulasi kebijakan agar sesuai perkembangan dan kebutuhan hukum menjadi kunci.
RUU tentang pengawasan sediaan farmasi, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga menjadi satu-satunya peluang kebijakan ex-post yang adaptif. Sayangnya, RUU ini mangkrak sejak 2012. Sehingga kapasitas RUU ini untuk mengakomodasi praktik kefarmasian modern masih harus ditunggu.
Peran Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) pada “masa kekosongan hukum” dibutuhkan untuk mengawasi pelaksanaan PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, Permenkes No. 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek dan kode etik Apoteker.
Asosiasi Apotek Seluruh Indonesia (APSI) dapat menginisiasi proses kredensial apotek. National Associated of Boards of Pharmacy di Amerika Serikat, misalnya, mempelopori program Verified Internet Pharmacy Practice Sites sejak 1999.