Namun, banyak orang yang memandangnya sebagai pengalaman spriritual dan mengkategorikannya sebagai fenomena akhir kehidupan.
"Meneliti terminal lucidity adalah proses yang sulit mengingat banyak tantangan teknis dan etika yang dihadirkannya," ucap Batthyany, dilansir dari Psychology Today.
Merangkum dari laman SehatQ, satu teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena ini adalah adanya fluktuasi fungsi kognitif.
Saat pasien menderita penyakit kronis, volume otak akan sedikit menyusut karena jaringan-jaringan otak semakin melemah dan menyusut.
Oleh karenanya, otak yang tadinya penuh tekanan jadi agak melonggar.
Hal ini diyakini bisa mengembalikan macam-macam fungsi otak yang telah rusak. Misalnya daya ingat dan kemampuan berbicara.
Kondisi saraf seseorang yang mengalami terminal lucidity tentu jauh lebih kompleks ketimbang anggapan konvensional bahwa fenomena ini adalah ‘ucapan perpisahan’ dari pasien untuk keluarganya.
Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguak fenomena ini.
Baca juga: Kondisi Habibie Membaik Sebelum Meninggal, Ini Kata Sains
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.