KOMPAS.com - Penggunaan ganja sebagai tanaman obat masih menjadi hal yang kontroversial di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, menggunakan dan memiliki ganja merupakan perbuatan ilegal.
Hal ini karena ganja merupkan salah satu jenis narkotika golongan I yang terlampir dalam Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika).
Baca juga: Pandemi Covid-19 Bisa Sebabkan PTSD, Begini Cara Mencegahnya...
Berbeda dengan Indonesia, beberapa negara justru melegalkan penggunaan ganja. Sebut saja negara seperti Kanada, Uruguay, Jamaika, Thailand, bahkan Korea Utara yang tertutup melegalkan penggunaan mariyuana.
Salah satu alasannya adalah banyaknya penelitian yang mendukung manfaat ganja dalam berbagai penggunaan medis.
Tentunya, penggunaan ganja untuk keperluan medis hanya berlaku sesuai porsi dan dianjurkan oleh dokter.
Lalu, apa saja sih penyakit yang diberikan terapi atau obat berupa ganja?
Berikut beberapa penelitian yang membuktikan manfaat ganja untuk beberapa penyakit baik fisik maupun psikis.
Nyeri neuropatik merupakan sebuatan umum untuk menggambarkan rasa nyeri akibat kerusakan pada saraf.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal CMAJ pada Oktober 2010 menemukan bukti bahwa mengisap marijuana mampu meredakan nyri neuropatik.
Penelitian ini melibatkan 23 peserta usia dewasa yang mengalami nyeri neuropatik pasca-trauma atau pasca-operasi besar.
Para peserta diminta mengisap dosis 25 mg tonggal melalui pipa tiga kali sehari selama 5 hari.
Setelahnya, intensitas nyeri yang dirasakan peserta diukur menggunakan skala numerik.
Baca juga: Mengenal Gejala Diabetes Neuropati dan Cara Mengatasinya
Hasilnya, intensitas nyeri berkurang sugnifikan. Selain itu, peserta mengalami peningkatan kualitas tidur.
Meski begitu, studi mengenai keamanan metode ini harus dilakukan lebih lanjut.
Tanaman ganja ,Cannabis sativa, telah dilaporkan menghasilkan efek menguntungkan bagi pasien dengan penyakit radang usus.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal Clinical Gastroenterology Hepatology tahun 2013 melakukan uji kontrol terkait hal tersebut.
Mereka merekrut 21 pasien radang usus kronis yang dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama diminta mengisap ganja, sedangkan kelompok kedua diminta mengisap plasebo (obat kosong).
Hasilnya, selama 8 minggu perawatan, kelompok pertama dilaporkan mengalami peningkatan nafsu makan dan tidur tanpa efek samping yang signifikan.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Behavioural Pharmacology 2016 lalu membuktikan manfaat ganja untuk terapi gangguan stress pasca-trauma (PTSD).
Studi terdahulu juga menunjukkan bahwa pengobatan dengan cannabinoid (zat dalam ganja) mampu menurunkan gejala PTSD termasuk meningkatkan kualitas tidur, mengurangi frekuensi mimpi buruk, dan mengurangi hyperarousal (stres kronis).
Baca juga: Gejala Mirip, Ini Beda Kanker Usus dan Sindrom Iritasi Usus Besar
Kesimpulan penelitian yang dilakukan ilmuwan dari Israel itu menegaskan agen cannabinoid menawarkan manfaat terapeutik untuk PTSD.
Ganja juga diketahui punya manfaat untuk kondisi neurologis lain, yaitu epilepsi. Sejumlah penelitian menunjukkan hasil tersebut.
Bahkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menyetujui obat bernama Epidiolex yang mengandung cannabidiol untuk mengobati kejang akibat epilepsi.
Epidiolex sendiri merupakan ekstrak ganja murni (98 persen berbasis minyak).
Dalam uji klinis terkontrol, hasil studi menunjukkan pemberian epidiolex mampu menurunkan gejala kejang lebih cepat dibanding obat lain.
Studi FDA itu juga didukung oleh penelitian tahun 2017 dan 2018 di New England Journal of Medicine.
Multiple sclerosis ditandai dengan terganggunya komunikasi antara otak dan tubuh. Gejala yang paling mudah dikenali adalah penglihatan mulai kabur hingga kelemahan otot.
Sebelumnya, penyakit ini sulit diobati. Tapi, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Neurology memberi harapan baru.
Perawatan yang ditawarkan oleh penelitian itu adalah pil ganja medis. Pil ganja hanya diberikan sebagai bentuk komplementer atau tambahan dari jenis pengobatan lain.
Dengan kata lain, terapi ini belum bisa terbukti berdiri sendiri.
Baca juga: Epilepsi: Gejala, Jenis, Penyebab, dan Cara Menangani
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.